Data terbaru dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa polarisasi sosial di Indonesia masih tetap tinggi, dengan 48% responden di Jawa Barat dan 54% di Sumatera Utara mengakui adanya peningkatan ketegangan sosial terkait isu agama dan etnis setelah Pilkada. Polarisasi ini menciptakan iklim politik yang dipenuhi dengan kecurigaan dan konflik, di mana kelompok-kelompok masyarakat mulai merasa terancam oleh yang lain, merusak rasa kebersamaan dan solidaritas nasional.
Polarisasi sosial yang dihasilkan dari politik identitas memiliki implikasi yang luas terhadap proses demokrasi di Indonesia. Ketika masyarakat terbelah berdasarkan garis-garis identitas seperti agama dan etnis, proses demokrasi menjadi terganggu. Pemilih cenderung memilih berdasarkan afiliasi identitas daripada visi dan program kerja kandidat, yang dapat mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang kurang kompeten namun memiliki afiliasi identitas yang kuat.
Lebih jauh, polarisasi ini juga berpotensi memperlemah institusi demokrasi. Ketegangan sosial yang meningkat sering kali disertai dengan penurunan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi seperti KPU, Bawaslu, dan aparat penegak hukum. Transparency International Indonesia dalam laporan tahun 2023 mencatat bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga pemilu menurun sekitar 10% di daerah-daerah yang mengalami polarisasi politik yang kuat, seperti Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Politik identitas dan polarisasi sosial yang dihasilkannya adalah tantangan serius bagi demokrasi Indonesia. Meskipun efektif dalam jangka pendek untuk memenangkan suara, penggunaan politik identitas mengancam stabilitas sosial dan menciptakan iklim politik yang penuh dengan kecurigaan dan konflik. Untuk menjaga integritas proses demokrasi, penting bagi semua pihak untuk menahan diri dari memanfaatkan isu-isu identitas secara berlebihan dan bekerja menuju masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Data dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa tanpa intervensi yang tepat, polarisasi ini akan terus memburuk, dengan konsekuensi yang merusak bagi kohesi sosial dan demokrasi di Indonesia.
Dinasti Politik dan Dominasi Petahana
Fenomena dinasti politik telah menjadi salah satu anomali yang paling mencolok dalam Pilkada di beberapa wilayah strategis di Indonesia. Dinasti politik merujuk pada situasi di mana kekuasaan politik diwariskan dalam lingkup keluarga, menciptakan jaringan kekuasaan yang kuat dan sulit ditembus oleh kandidat baru. Fenomena ini terlihat jelas di wilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana politik dinasti telah mengakar kuat dan memberikan keunggulan yang tidak adil bagi kandidat-kandidat dari keluarga berkuasa.
Laporan Transparency International Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan bahwa lebih dari 50% calon kepala daerah di Jawa Timur berasal dari keluarga yang telah lama berkuasa, sementara di Jawa Tengah, angka ini mencapai 47%. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kekuasaan politik cenderung terkonsentrasi pada segelintir keluarga, menciptakan jaringan yang sulit ditembus oleh kandidat independen atau baru. Dinasti politik ini tidak hanya memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya kampanye tetapi juga memiliki kemampuan untuk memobilisasi jaringan politik yang mapan serta mendapatkan dukungan birokrasi yang kuat.
Keunggulan yang dimiliki oleh dinasti politik terlihat dalam berbagai aspek. Misalnya, laporan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2021 mencatat bahwa kandidat dari dinasti politik cenderung memiliki akses yang lebih besar terhadap pendanaan kampanye. Dalam Pilkada 2020, di Jawa Timur, lebih dari 60% dana kampanye kandidat dari dinasti politik berasal dari sumber-sumber keluarga atau jaringan bisnis yang terkait dengan keluarga tersebut. Hal ini memberikan mereka keunggulan kompetitif yang signifikan, terutama dalam hal visibilitas dan akses ke media, yang sering kali tidak dimiliki oleh kandidat independen.
Selain itu, dinasti politik juga memiliki keuntungan dalam memobilisasi dukungan birokrasi. Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 55% dari birokrasi di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh dinasti politik cenderung mendukung kandidat yang berasal dari keluarga berkuasa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan ini tidak hanya dalam bentuk dukungan suara tetapi juga dalam penyediaan fasilitas dan sumber daya lainnya selama masa kampanye.
Dominasi petahana juga menjadi tantangan besar dalam Pilkada, memperkuat ketidakadilan dalam kompetisi politik. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya pada tahun 2020 mencatat bahwa petahana di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki anggaran kampanye yang dua hingga tiga kali lipat lebih besar dibandingkan kandidat baru. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang signifikan dalam proses demokrasi, di mana kandidat baru sering kali kesulitan untuk bersaing secara efektif melawan petahana yang sudah mapan.
Dominasi petahana tidak hanya terlihat dari segi anggaran, tetapi juga dari akses yang lebih besar terhadap media dan dukungan dari jaringan politik lokal yang sudah terbentuk. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2021 mencatat bahwa petahana di Jawa Tengah mendapatkan liputan media yang lebih positif hingga 40% dibandingkan kandidat baru. Selain itu, petahana juga memiliki akses yang lebih mudah ke sumber daya negara, yang sering kali digunakan untuk memperkuat citra mereka di mata publik.
Fenomena dinasti politik dan dominasi petahana memiliki implikasi serius bagi kualitas demokrasi lokal di Indonesia. Konsentrasi kekuasaan pada dinasti politik dan petahana mengurangi kesempatan bagi munculnya kandidat-kandidat baru yang memiliki potensi namun tidak memiliki akses ke sumber daya yang sama. Ini mengarah pada terjadinya stagnasi politik, di mana inovasi dan perubahan yang dibawa oleh kandidat baru sulit untuk diimplementasikan.
Selain itu, dominasi ini juga menurunkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Ketika pemilih merasa bahwa hasil pemilihan sudah ditentukan oleh faktor-faktor non-demokratis seperti kekuatan finansial dan dukungan birokrasi, mereka cenderung menjadi apatis dan tidak percaya pada proses pemilihan yang seharusnya adil. Indikator Politik Indonesia dalam surveinya pada tahun 2022 menemukan bahwa tingkat partisipasi pemilih di daerah yang dikuasai oleh dinasti politik dan petahana lebih rendah sekitar 15% dibandingkan daerah-daerah lain, mencerminkan adanya kekecewaan terhadap sistem yang ada.
Dinasti politik dan dominasi petahana merupakan tantangan besar yang harus diatasi untuk memastikan demokrasi yang lebih inklusif dan adil di Indonesia. Regulasi yang lebih ketat terhadap pembiayaan kampanye dan pengawasan yang lebih kuat terhadap penggunaan sumber daya negara oleh petahana sangat diperlukan. Selain itu, perlu ada upaya yang lebih besar untuk mendukung munculnya kandidat-kandidat baru yang memiliki potensi untuk membawa perubahan positif, sehingga proses demokrasi dapat berjalan dengan lebih sehat dan kompetitif.
Implikasi dan Tantangan Masa Depan
Anomali-anomali yang muncul dalam Pilkada di Indonesia menandai titik krusial dalam perkembangan demokrasi lokal di negeri ini. Fenomena seperti politik identitas, dinasti politik, dan dominasi petahana menimbulkan tantangan serius yang dapat mengancam esensi demokrasi yang sehat dan inklusif jika tidak diatasi dengan tepat.