Salah satu tantangan terbesar bagi PTN adalah bagaimana membangun dan mempertahankan ekuitas merek (brand equity) mereka di tengah tekanan untuk menjaga keterjangkauan biaya pendidikan. Ekuitas merek PTN sangat dipengaruhi oleh reputasi akademik, kualitas dosen, fasilitas kampus, dan prestasi mahasiswa. Namun, upaya untuk memperkuat ekuitas merek ini sering kali membutuhkan investasi yang signifikan dalam bentuk peningkatan infrastruktur, rekrutmen dosen berkualitas, serta pengembangan program studi yang kompetitif.
Di sisi lain, PTN juga dituntut untuk menjaga biaya pendidikan tetap terjangkau bagi masyarakat luas. Kenaikan biaya pendidikan yang tidak terhindarkan, sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas, dapat berdampak negatif pada persepsi publik terhadap PTN. Calon mahasiswa dan orang tua mungkin melihat PTN yang mahal sebagai tidak inklusif, yang pada akhirnya dapat menurunkan minat mereka untuk mendaftar.
Menurut Kotler dan Keller (2022), strategi pemasaran yang efektif harus mampu menciptakan keseimbangan antara penguatan ekuitas merek dan menjaga keterjangkauan produk atau layanan. Dalam konteks PTN, hal ini berarti bahwa universitas harus menemukan cara untuk meningkatkan kualitas tanpa harus membebani mahasiswa dengan biaya yang terlalu tinggi. Misalnya, PTN dapat memanfaatkan kemitraan dengan sektor swasta atau donor untuk mendanai program peningkatan kualitas, sehingga biaya tambahan tidak dibebankan langsung kepada mahasiswa.
Paradoks Diferensiasi vs. Standarisasi
Dalam lingkungan pendidikan tinggi yang kompetitif, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia menghadapi tantangan untuk membedakan diri mereka dari pesaing guna menarik mahasiswa yang memiliki minat dan kebutuhan spesifik. Diferensiasi ini biasanya dilakukan melalui pengembangan program studi yang unik, penerapan pendekatan pengajaran yang inovatif, dan penciptaan keunggulan-keunggulan khusus yang menjadikan universitas tersebut lebih menarik di mata calon mahasiswa dan mitra industri. Identitas yang kuat dan diferensiasi yang efektif sangat penting untuk membangun merek universitas yang dapat bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional.
Namun, upaya untuk menciptakan diferensiasi ini sering kali berbenturan dengan kebutuhan untuk memenuhi standar nasional dan internasional yang ketat. Standarisasi ini diperlukan untuk memastikan bahwa kualitas pendidikan yang diberikan di seluruh PTN tetap merata dan sesuai dengan kerangka kerja yang ditetapkan oleh pemerintah dan badan akreditasi internasional. Meskipun standar ini penting untuk menjaga konsistensi dan kualitas, mereka dapat membatasi inovasi dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengembangkan program studi yang benar-benar berbeda dan unik.
Dari perspektif manajemen pemasaran, paradoks ini memerlukan strategi yang cermat. PTN perlu mampu mengidentifikasi bidang-bidang di mana mereka dapat unggul tanpa harus mengorbankan kepatuhan terhadap standar yang ada. Dalam praktiknya, PTN dapat menawarkan program studi yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan lokal atau regional, sementara tetap mengikuti standar nasional dalam hal kurikulum inti. Ini memungkinkan PTN untuk menciptakan nilai tambah yang unik bagi mahasiswa, sambil memastikan bahwa mereka tetap memenuhi kriteria akreditasi yang diperlukan.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya adalah salah satu contoh PTN yang berhasil menghadapi paradoks ini dengan cerdas. ITS telah membangun reputasi yang kuat dalam inovasi teknologi dan kemitraan dengan industri, terutama di sektor maritim dan teknologi informasi. Sebagai bagian dari upayanya untuk membedakan diri dari universitas lain, ITS mengembangkan berbagai program studi yang berfokus pada kebutuhan spesifik industri lokal dan regional. Program studi ini dirancang untuk memberikan keterampilan yang sangat dibutuhkan di pasar kerja, serta mendorong inovasi dan penelitian terapan yang langsung dapat diimplementasikan oleh industri.
Namun, meskipun ITS berupaya keras untuk menciptakan diferensiasi, universitas ini juga harus mematuhi berbagai standar nasional dan internasional. Standarisasi kurikulum, metode pengajaran, dan evaluasi yang diberlakukan oleh pemerintah dan badan akreditasi internasional sering kali membatasi ruang gerak ITS dalam berinovasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Kusumawati (2021), ITS harus menyeimbangkan antara kebutuhan untuk tetap kompetitif melalui inovasi dan diferensiasi, serta tuntutan untuk memenuhi standar yang ketat yang diberlakukan di tingkat nasional dan internasional.
Selain itu, tantangan ini juga terlihat dalam upaya ITS untuk mendapatkan akreditasi internasional. Meskipun akreditasi internasional dapat meningkatkan reputasi ITS dan membuatnya lebih menarik bagi mahasiswa internasional, proses tersebut sering kali mengharuskan universitas untuk menyesuaikan program studinya agar sesuai dengan standar global, yang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan dan potensi inovasi lokal.
Paradoks Promosi vs. Keberlanjutan
Dalam era digital yang serba cepat, promosi menjadi elemen vital dalam manajemen pemasaran, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia tidak terkecuali dalam memanfaatkan berbagai saluran digital seperti media sosial, kampanye iklan online, dan komunikasi pemasaran lainnya untuk menarik perhatian calon mahasiswa. Promosi yang efektif dapat meningkatkan visibilitas PTN, memperkuat merek, dan menarik lebih banyak pendaftar. Namun, di balik upaya promosi yang agresif, terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan. Promosi yang tidak diimbangi dengan strategi keberlanjutan yang kuat dapat menciptakan ekspektasi yang berlebihan atau overpromising, di mana universitas menjanjikan lebih dari yang mampu mereka sediakan.
Paradoks ini muncul ketika upaya promosi yang berlebihan dilakukan tanpa memastikan bahwa kualitas pendidikan, kapasitas fasilitas, dan dukungan yang dijanjikan benar-benar ada. Overpromising dapat berujung pada ketidakpuasan mahasiswa yang merasa bahwa janji yang diberikan tidak sesuai dengan realitas. Ketidakpuasan ini tidak hanya merusak reputasi jangka panjang PTN, tetapi juga mengurangi loyalitas mahasiswa, yang dapat berdampak pada tingkat retensi dan citra universitas secara keseluruhan.
Menurut Chaffey dan Ellis-Chadwick (2021), keberhasilan dalam promosi harus selalu didukung oleh keandalan dan keberlanjutan operasional. Artinya, PTN harus memiliki strategi jangka panjang yang tidak hanya berfokus pada menarik calon mahasiswa, tetapi juga memastikan bahwa mereka mampu memenuhi dan bahkan melampaui ekspektasi yang telah dijanjikan. Ini melibatkan perencanaan yang matang dalam hal sumber daya, baik finansial, infrastruktur, maupun tenaga pengajar, untuk mendukung pertumbuhan yang diinginkan dan memastikan kepuasan serta loyalitas mahasiswa.
Salah satu contoh studi kasus yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung adalah salah satu PTN yang sangat agresif dalam memanfaatkan media digital untuk promosi. Melalui berbagai kampanye digital, Unpad berhasil menarik perhatian ribuan calon mahasiswa dari seluruh Indonesia setiap tahunnya. Mereka menggunakan media sosial, situs web interaktif, dan kampanye iklan online untuk mempromosikan berbagai program studi yang ditawarkan. Strategi ini terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah pendaftar, bahkan di tengah persaingan yang ketat.
Namun, promosi yang agresif ini juga membawa tantangan tersendiri. Studi kasus di Unpad menunjukkan bahwa, meskipun kampanye promosi mereka berhasil meningkatkan jumlah pendaftar, beberapa mahasiswa mengeluhkan bahwa fasilitas dan layanan yang tersedia tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam promosi. Misalnya, beberapa program studi yang dipromosikan sebagai unggulan ternyata menghadapi masalah seperti kurangnya tenaga pengajar berkualitas, keterbatasan infrastruktur, atau dukungan akademik yang tidak memadai.