Percaya, kebetulan itu tidak pernah ada
***
“Kau membenciku?” Tanya anak perempuan yang kini intens menatap lawan bicaranya.
“Ya,” Jawabnya, anak laki – laki keturunan Amerika – Indonesia yang kini tengah menjadi lawan bicara anak perempuan tersebut.
“Kau serius?”
“Ya”
“Tidak,”
“Mengapa? Bukankah aneh jika kau membenciku tiba – tiba?”
“Aku memang membencimu dan tidak ada alasan untuk itu,”
“aku tidak membencimu, aku menyayangimu”
Anak perempuan itu terdiam sesaat, mengamati dengan lebih seksama eksperesi anak laki – laki yang kini diajaknya bicara, tidak ada yang berubah sedari dulu, hanya ekspresi datar yang selalu ditampilkan ia seperti biasanya. Hingga, dapat, anak perempuan itu mendapatkan apa yang ia harapakan, sebuah getir dari mata lawan bicaranya, walau sesaat ia yakin bahwa ia melihatnya.
“Sebagai apa?” Tanya anak perempuan itu kini dengan senyuman yang lebar
“Musuh,” Jawab anak laki – laki tersebut culas
“Sebagai…, entahlah kau satu – satunya,”
Anak perempuan tersebut tertawa keras, tawanya benar – benar lepas. Membuat sang empu yang ia ajak bicara hanya menatapnya aneh sekaligus bingung.