Bagian 6: “Kan Cuma Katanya, Bukan Buktinya”

Kamis 18-08-2022,05:19 WIB
Editor : novantosetya

“Manusia itu hidup dipanggung sandiwara, jadi jangan mudah percaya kalo ia cinta benar cinta, sebab bisa jadi itu luka. Atau jangan terlalu perasa jika itu benar luka, sebab namanya luka bukan berarti tidak bahagia”

-Jingan, Si Pengangum Lukis dan Perupanya

>>>***<<<

Jingan tengah menikmati batagornya bersama Jinan yang sibuk dengan buku rumus matematikanya. “Lo kagak mau muntah Nan baca buku itu, dimana mana 24/7 itu sama ayang bukan buku.”   Ujar Jingan, notifikasinya hapenya berisik, seberisik ia yang menganggu Jinan kini. Jinan menatap Jingan sinis.

“Ayang Ayang palo lo peyang, nggak usah sok ayang kalo mapel agama aja masih remed, punya agama nggak lo!” Jinan dengan target pembelajaran yang mempet cukup membuatnya sensi dengan segala hal disekitarnya, sesederhana orang berisik ditempat umum saja Jinan akan mengumpatinya habis – habisan, biasalah masalah siswa dan tugas akhirnya.

Jingan menahan mati – matian hatinya yang memberontak ingin mengumpat pada sahabatnya yang satu ini, sebab sudah hafal sekali jika tabiat Jinan yang emosian adalah Jinan yang sedang penuh pikirannya, Jingan hanya tersenyum masam dan menggerutu kecil, “Bilang aja cupu, apaan tuh bahagia kalo dia bahagia juga yang ad amah lo remuk redam.” Sindir Jingan yang setelahnya segera mengambil langkah seribu untuk berlari, sebab Jinan dan buku rumusanya tidak main – main sakitnya jika dilempar ke kepalanya dengan begitu saja.

Jingan terkikik, sebenarnya ia cukup menyayangkan kabur kaburannya dari Jinan sebab ia belum sempat menghabiskan seperempat lagi batagornya yang masih tersisa. Jingan meraba sakunya, dan ia temukan dua batang rokok yang masih utuh, Jingan mendengus, kemudian ia buang batang rokok itu begitu saja. Aneh bukan, ia yang dicap brandal malah ia yang paling anti dengan segalanya. Jinan memang membeli rokok itu, namun ia bukan penyuka rokok, rasanya lebih baik mengemil permen milkita yang notabenya sering memancing keributan rumah tangga, seanggapan Jingan sebab menonton iklan milkita :) dibanding menyesap rasa pahit dan asap sesak yang tidak Jingan tahu dimana letak enaknya.

Jingan juga bukan pecandu wanita, atau laki laki buaya yang sering tebar pesona sana sini, atau banyaknya julukan lain yang tersemat padanya, Jingan memang brandal tapi ia bukan si pencari masalah, ia juga tidak selalu menggunakan kekerasa, sabuk hitam dan mendali tekwondeonya bukan untuk ajang pamer siapa yang paling hebat diantara siapa, Jingan tidak akan menganggu kecuali ia diganggu lebih dulu. Jingan pintar, hanya saja ia tidak menggunakan kepintarannya dalam rumus dan deratan angka serta data yang begitu rasional. Ia menyukai warna, gambar dan sebuah keindahan panorama dari imajinasi manusia.

Ini sudah sangat lama, entah sejak kapan setiap jeda waktunya, langkah kaki Jingan terus membawanya pada ruang lukis lama di sekolahnya, hari itu hanya ia temui sebuah lukisan tanpa wujud sang peseni, kemudia ia dengar lantunan indah, dan setelahnya dapat ia temukan perempuan dan ruang indahnya. Tiap cat yang ia tumpahkan, tiap garis yang ia tulis, rasa – rasanya tidak dapat Jingan deskripsikan indah dan cantiknya si manusia dengan rambut panjang yang kerap kali disapu angin itu.

Jingan mengatakan Jinan cupu, Bian pecundang, dan Sandi yang levelnya tentang wanita selalu seja berada di tingkat bawah. Hari itu dengan banyaknya wanita yang berstatus menjadi kekasihnya, Jingan jatuh cinta, cinta yang ia sembunyikan rapat – rapat hingga entah kapan. Pertama kalinya, Jingan hanya mampu menikmati rupa itu dari jauh dari bilik bilik jendela tua. Ternyata jatuh cinta diam – diam itu menyenangkan, namun lukanya juga tak kalah dalam. (bersambung)

 

Kategori :