“Walau kamu cuma jadi beban dan sampah dunia, kamu tetap layak untuk hidup sebagai tokoh utama, di pentas drama, tentang kamu, dunia, luka, dan cintanya.”
>>>***<<<yamaha-- Dulu, tidak terhitung sebanyak apa Bian pernah membenci Sandi, sebab Sandi selalu punya cara membuat atensi orang – orang teralih sepenuhnya padanya, bahkan Bian kecil dulu sering menangis, kala Bundanya memuji Sandi dihadapannya, Sandi yang beginilah, Sandi yang begitulah. Bian anak tunggal, tak pernah ia rasakan rasanya dibandingkan, dan saat Sandi mulai menjamah ranahnya, Bian merasa tersaingi, segala milik Sandi haruslah jadi miliknya, Bian harus tetap menjadi nomor satu dan Sandi tidak pernah boleh melangkahinya, itu dulu. Jika ditanya sekarang, mungkin masih sedikit tersisa rasa itu, rasa dimana, bahkan dalam kehidupan utamanya, Bian seolah terus menjadi sosok figuran untuk Sandi yang terus bersinar terang menjadi satu – satunya, sang utama. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia menyangi Sandi, layaknya ia mencintai keluarganya, setulus hati dan sepenuh jiwa. “Circle kakak keren deh, ada Bang Sandi, Bang Jinan sama Bang Jingan,” Ujar perempuan dengan rambut pendek sebahu itu, matanya sipit khas Chinese-indo sekali, kulitnya seputih susu, bisa Bian liat dengan jelas wajahnya terus saja memerah tiap matahari menyorot perempuan yang beberapa detik lalu memanggilnya kak, manis dan begitu cantik. Perempuan itu terkekeh, “Kenapa sih harus dipanggil Jingan, kalo pake bang jadi kayak manggil bajingan tau nggak.” Protes perempuan tersebut dengan bibir yang dipoutkan, membuat Bian gemas ingin mengacak rambut dan menarik pipi berisi itu, namun yang namanya teman ia harus tau Batasan, belum lagi ia terjebak di Zona abang- adek, aku cinta, tapi ia bilang aku cuma kakaknya, layaknya saudaranya. Namanya Ayasa Abagiya, orang – orang kerap memanggilnya Giya, diambil dari empat kata nama belakangnya, kecuali Bian yang meneyematkan nama unik penuh cinta, entah si empu yang punya nama sadar atau tidak, yang pasti Bian kasmaran terhadap perempuan yang kerap ia sapa dengan nama Yaya. Adik tingkatnya satu jurusan, pengenalan mereka juga entah bagaimana awalnya, hingga tanpa sadar Bian telah jatuh hati, untuk pertama kalinya. Pada orang yang ia temui bahkan tidak sampai sekejap mata. “Jangan gemes – gemes,” Ujar Bian terkekeh, “Nanti aku makin cinta,” Lanjutnya dalam hati sembari tersenyum. Bian just being Biang, seorang pecundang yang selalu takut untuk berjuang. Terus kalah bahkan sebelum berperang. “Hmm…kak, kalo bang Sandi aku kasih coklat suka nggak ya?” Tanya Yaya, semu merah menjalari pipi hingga telinganya, bukan lagi karena teriknya matahari melainkan sebuah rasa yang Bian rasakan, yang sayangnya Yaya berikan rasa itu untuk orang lain selain dirinya. “Sandi suka…” Jawab Bian pelan, tatatapannya teduh menenangkan, ia tutup rapat kecewanya, hatinya remuk, namun ia bisa lakukan apa selain diam, “Tapi aku lebih suka, Ya.” Batin Bian. Bian tertawa pelan, tawa miris yang mati – matian ia sembunyikan, ia tidak menyalahkan Yaya yang jatuh cinta, atau rasanya yang sudah terlalu dalam. Melainkan, mengapa dari sekian banyaknya manusia, harus selalu Sandi yang menjadi pesaingnya, mengapa harus Sandi yang menjadi satu – satunya. (bersambung)