Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
'Tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku -Adera, lebih indah ֍♠♠♠♠֍ “Kamu tau, dincintai oleh banyak orang itu sebuah keberuntungan yang aku syukuri sampai kini. Namun, dincinta oleh kamu itu sebuah keajaiban yang nggak pernah aku duga bahkan hingga semuanya hanya terasa seperti mimpi.”
yamaha-- -Jingga, perempuan gagal percaya 2022 >>>***<<< Aji melangkah gamang, sekelilingnya kini terasa hampa padahal malam ini malam yang begitu indah, entah dengan langitnya, suasanya, dan orang – orang yang kini hadir. Aji mengelap sudut matanya, kini ia tengah membuka Jok motornya, melempar bunga dan hadiah yang akan ia berikan pada Jingga. “Elah, Ji. Gini doang pakek nangis, banci lo?” Maki Aji pada dirinya sendiri. Aji melihat motor satu – satunya yang ia miliki, “Sabar, Brom. Boncengan lo masih kosong, soalnya kita gagal ngegaet mak lo si Jingga,” Ujar Aji mengusap jok motornya, Aji mendudukkan dirinya. Tidak ada yang ingin ia lakakukan selain merenung dan meratapi nasib naasnya malam ini, sudahlah tak jadi kencan, eh ditampar kenyataan pula. Aji menatap pandangan di seberang jalan dengan pandangan miris, disana terlihat dua muda – mudi yang tengah dimabuk dawai asmara, buketnya pun sama persis dengan buket yang dibeli Aji untuk Jingga, biasa pasaran, pasalnya Aji tak pernah tahu apa yang spesial untuk seseorang perempuan, dan jalan satu – satunya yang ia pikirkan hanya mengikuti trend yang ada, semoga saja bisa meluluhkan hati Jingga. Apanya yang luluh? Wong sempat dikasih saja tidak. “Ini niat banget ya nyindir gue ampe menye – menye gitu?!” Aji sensitif dengan hal berbau romansa, dia baru saja diputus cinta, eh orang – orang disekelilingnya malah berlomba – lomba untuk memanas – manisnya. Aji gerah, namun apa daya ia yang tak punya. “Huwalah, Jancok!” Umpat Aji kesal, ia pakai helmnya tergesa – gesa, meninggalkan tempatnya kini lebih cepat lebih baik. Namun, baru saja suara starteran motornya terdengar sebuah teriakan serak memanggilnya namanya keras. “AJIII!!!” Aji menoleh dengan mata melotot, matanya melebar tidak percaya melihat Jingga dengan wajah basah dan berantakan tengah berlari menghampiri dirinya. Aji segera turun dari motornya, melepas helmnya dan berniat menyusul Jingga. Namun, Jingga jauh lebih cepat dari perkiraan Aji hingga sebuah pelukan dengan isak tangis mendarat sempurna di tubuhnya. “Lo! Bisa – bisanya lo ninggalin gue disaat gue udah nunggu dari jam setengah tujuh ya bangsat!” Jingga menepuk punggung Aji kuat, membuat Aji meringis. “Jing—” “DIAM!” Teriak Jingga yang segera dituruti oleh Aji. Jingga memeluk Aji lebih erat, semakin kuat pelukannya, semakin kuat pula tangisannya. “Hiks.. l—lo jahat banget sumpah!” Kesal Jingga terisak, Aji tidak banyak berkomentar selain mengusap rambut dan punggung Jingga lembut, memberikan rasa nyaman dan hangat agar perempuan yang ada di dekapannya ini merasa lebih tenang. Mengingat Jingga sebenarnya hati Aji sakit, namun sekonyong – konyongnya hati Aji sakit karena melihat Jingga, hati Aji jauh lebih tersayat – sayat saat mendapati Jingga seperti ini. Sebenarnya sebuah pertanyaan besar bercokol di benak Aji, harusnya Jingga bahagia, lalu mengapa Jingga datang padanya dengan berurai air mata. Saat Aji merasakan pelan – pelan isakan Jingga terhenti, Aji melepaskan pelukannya, menangkup wajah mungkin Jingga di kedua tangannya dan mengusap air mata Jingga yang tersisa dengan bantuan ibu jarinya, “Uluuluuluulu, ini kenapa bocil satu nangis sih?” Tanya Aji yang dipelototi Jingga. Jingga mendengus, melepaskan tangan Aji, “Dahlah, malas gue sama bajhindngan kayak lo,” Ujar Jingga melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Aji malas. Tak ada lagi wajah basah nan sembab karena tangsinya, kini hanya wajah memerah yang menekuk kesal sebab menahan amarah. Aji mengerutkan kedua dahinya, “Emangnya gue salah apa ya kak?” Tanya Aji bingung, tidak ada badai tidak ada topan tiba – tiba saja ia dibilang bajingan. Sebangsat – bangsatnya Aji, Aji tidak pernah mau memainkan wanita terlebih jika itu tentang perasaan. Aji takut karma, dirumah Aji punya mama sebagai perempuan dan Enza sebagai adiknya. Walau Enza bukan perempuan, Aji tetap was – was sebab Bengal – Bengal begitu diantara Aji bersaudara Enzahlah yang paling memiliki perasaan paling lembut dan terlalu mudah memasukkan segala hal kedalam hatinya. “Banyaklah!” Kesal Jingga menginjak kaki Aji, Aji menatap Jingga tajam, memegangi kakinya, “Ishh…sakit anj—” Aji tak melanjutkan umpatannya, menyadari jika yang kini ia hadapi adalah Jingga. “Apa? Sakit apa?!” Tantang Jingga. “Ya sakit aja!” Jawab Aji ngegas. Jingga yang sudah tersulut sedari awal semakin ikut terpancing. “Kenapa nggak seneng?!” Tanya Jingga lagi, kali ini ia berkacak pinggang didepan Aji. Seolah tak mau kalah Aji turut berkacak pinggang, “PMS lo? Marah mulu kagak jelas!” Kesal Aji. “Iyalah gue marah! Lah lo ninggalin gue, udah udah nunggu lama ya brengsek!” “Ya siapa bilang juga gue mau ninggalin lo! Lo kan lagi asyik lovey-dovey ama mantan lo?! Salah gue?!” “Lo nanya nggak? Memangnya lo pikir lovey-dovey ada nangis – nangis gini?!” “Ya mana gue tahu, kan yang gue liat lo lagi peluk – pelukan, mana tau genre romansa lo mellow drama!” Jingga memukul pundak Aji kesal, bahkan ia menggigit lengan Aji kuat, “Jingga!!! Sakit woi!” Aji berusaha melepaskan Jingga. Namun, tak kunjung berhasil. Ingin mendorong Jingga, sudah dibilang Aji itu budak cinta, jadi ia tidak akan tega. Jingga melepaskan gigitannya setelah merasa puas melihat Aji tersiksa, menyisakan bekas biru keunguan berbentuk lingkaran di lengan Aji. “Rabies gue tuntut ke penjara nih!” Ujar Aji meniup – niup lengannya. “Lo pikir gue anjing?!” Kesal Jingga menatap nyalang Aji. “Memangnya gue bilang?! Kalo lo yang ngaku ya udah sih.” “AJIIIIII!!!!” “Apppaaaaaaaaa Jingggaaaaaa?” Jingga menghela nafasnya pelan, manusia didepannya ini tidak ada peka – pekanya. “Lo nggak mau apa gitu? Minta maaf atau bilang sesuatu, gue udah nunggu dari jam setengah tujuh buat ketemu lo, dandan cantik – cantik, bahkan gue udah ngehabisis sepiring sate sambil nunggu lo,” Jingga menduduki dirinya di trotoar diikuti dengan Aji di sampingnya. Keduanya kompak menumpan kepala mereka di masing – masing lutut mereka. “Memangnya gue nggak nunggu gitu buat ketemu lo? Gue dua setengah jam ya siap – siap buat milih pakaian, dibantuin Mas Arya sama Enza. Kita bahkan doa sama – sama buat lo. Gue sampe makek sepatu Air Jordan kesayangan gue, padahal gue belinya pake duit jajan gue tiga bulan.” Balas Aji pelan, sama gegananya dengan Jingga sekarang. “Terus kenapa nggak nyamperin gue?” Tanya Jingga. “Gimana gue mau nyamperin, yang pengen disamperin lagi peluk – peluk manja ama cowo lain,” Jawab Aji menatap lurus netra Jingga. “Ya laranglah, emangnya lo suka liat gue di peluk – peluk cowo lain?!” Kesal Jingga yang segera dibantah oleh Aji, “Nggak! Tapi kan gue bukan siapa – siapa!” “ya jadiin dong gue siapa – siapanya lo?!” “Tapi gue nggak buka lowongan buat adek perempuan!” “Memangnya gue mau jadi adek perempuan lo?!” “Ya terus? Lo mau jadi cewe gue gitu!” “Ya maulah, goblok lo!” Aji masih ingat berdebat. Namun, dirinya mematung kembali mengingat kalimatnya, matanya membulat sempurna menatap Jingga terkejut, “Lo ngomong apa tadi?” tanya Aji menarik Jingga untuk sepenuhnya menghadapnya, menahan bahu Jingga agar perempuan itu tak terus mengelak. “Nggak ada replay, kalo nggak ada pernyataan resmi.” Jawab Jingga malas, Aji segera membuka jok motornya, mengeluarkan buket bunganya yang sudah tampak kusut dan penyet, memberikan coklat yang ia bawa untuk Jingga. “Jingga, ayo jadi cewek gue!” Ujar Aji mengungkapkan perasaannya. Jingga mendengus kesal, mana ada orang yang menyatakan cinta dengan bunga rusak seperti milik Aji, belum lagi perkataan Aji terdenger seperti mengajak Jingga untuk makan di warteg pinggir jalan tempat biasa mereka lewat sebelum pulang. Namun, tak urung membuat Jingga bersedih, justru ia tertawa. Geli dengan kelakukan Aji, Jingga tahu bahwa mata Aji tadi berkaca – kaca kala meninggalkannya. Walau tidak romantis dan terkesan sangat berantakan, bagi Jingga, pernyataan Aji adalah momen paling bahagia untuknya, tidak perlu yang mewah, cukup sederhana saja, asal Jingga dicintai dengan tulusnya, Jingga tidak akan pernah menuntut apapun dari Aji. Jingga hanya butuh Aji di sisinya. “Berhubung gue lagi nggak baik, gue iyain.” Ucap Jingga kelewat santai, tangannya kini merangkul lengan Aji, Aji cukup tersentak dengan perlakuan Jingga. Entah mengapa Aji merasa sangat canggung, dirinya bahagia sekaligus gamang, Jingga menjadi miliknya namun sebuah perasaan mengganjal di hatinya tak urung selesai. “Lo nggak mau nanya yang lain gitu?” Tanya Jingga, melihat raut wajah Aji, Jingga dapat mudah membaca bahwa Aji masih tidak yakin. Dalam hatinya, Jingga meringis, mala mini kelewat berantakan, bahkan pernyataan cinta diantara mereka terkesan aneh, mana ada yang menyatakan cinta saling tarik urat. “Jing, cowo—” “Panggil nama gue lengkap – lengkap gue berasa dianjingin sama lo,” potong Jingga cepat. Aji mematung, kemudia terkekeh, malam ini benar – benar absurd dan tak jelas bagi mereka. “cowo yang tadi gimana?” Tanya Aji. Jingga memutar bola matanya malas, “Cuma mantan,” Jawab Jingga singkat, padat, dan jelas. “Mantan terindah?” Tanya Aji lagi. Jingga menggeleng, “Kalo terindah nggak akan jadi mantan,” mendengarnya Aji kembali terkekeh pelan. “Kita aneh ya?” Ujar Aji menyuarakan isi hatinya. “Dari tadi,” Jawab Jingga. “Gu—ah, aku cinta kamu, Jingga.” Bisik Aji pelan, Jingga tersenyum. “Aku tahu,” balas Jingga, “Aku juga,” lanjut jingga kemudian dalam hatinya. Mendengarnya Aji tersenyum tipis. “Aji.” Panggil Jingga. Aji menoleh melihat Jingga. “Kamu tau, dincintai oleh banyak orang itu sebuah keberuntungan yang aku syukuri sampai kini. Namun, dincinta oleh kamu itu sebuah keajaiban yang nggak pernah aku duga bahkan hingga semuanya hanya terasa seperti mimpi.” (bersambung)