Oleh : Suhendra, M.Sc (suhendra@uinjambi.ac.id)
Pusat Kajian Lingkungan Hidup UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Krisis yang diakibatkan COVID-19tidak hanya mengejutkan Indonesia tapidunia seluruhnya. Pandemi ini menyebabkan kematian yang tragis, membuat orang takut untuk meninggalkan rumah, dan menyebabkan kesulitan ekonomi.Tetapi hanya dalam beberapa dekade, krisis yang diakibatkan oleh perubahan iklim akan sama atau bahkan lebih burukakibatnya daripada krisis COVID-19. Seburuk apapun pandemi ini, perubahan iklim bisa lebih buruk. Saat ini mungkin kita sulituntuk memikirkan masalah perubahan iklim ketika kita masih sibuk berkutat mengatasi masalah yang diakibatkan COVID-19. Sudah menjadi sifat manusia untuk khawatir dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita yang paling mendesak ketika sebuah bencana melanda, terutama ketika bencananya separah COVID-19. Namun, fakta bahwa suhu yang secara dramatis terus naik yangseakan terjadi jauh di masa depan tidak membuat masalah perubahan iklim ini menjadi kurang penting untuk diperhatikan dan satu-satunya cara untuk menghindari krisis terburuk yang diakibatkan oleh perubahan iklim adalah dengan mempercepat upaya yang bisa kita lakukan sekarang. Artinya, saat seluruh dunia masih berusaha untukmemulihkan diri dari COVID-19, kita juga perlu bertindak untuk menghindari bencana iklim dengan membuat dan menerapkan inovasi untukmengatasi emisi gas rumah kaca. Kita mungkin pernah membaca berita ataupenelitian yangmengatakanbahwa aktivitas ekonomimelambat saat pandemi COVID-19 terjadi begitu pula emisi gas rumah kacayang dikeluarkan menjadi lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun berita dan penelitian ini benar, pentingnya menangani perubahan iklim tetap harus menjadi perhatian.Para ilmuwan berselisih pendapat tentang berapa banyak emisi yang turun saat pandemi COVID-19 terjadi, menurut Badan Energi Internasional (International Energy Agency), sebuah organisasi antar pemerintah otonom yang berbasis di Paris yang didirikan dalam kerangka Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, memperkirakan penurunan emisi gas rumah kaca selama pandemi sekitar 8persen atau hanya sekitar 4 miliar ton karbon dari 51 miliar ton karbon. Penurunan tersebutperlu ‘diapresiasi’, karena kondisi bumi akan sangat baik jika kita dapat melanjutkan tingkat penurunan itu setiap tahun. Namun sayangnya kita tidak bisa.Untuk memahami jenis kerusakan yang akan ditimbulkan oleh perubahan iklim, kita bisa melihat krisis akibat COVID-19 namun dengan periode yang lebih lama. Hilangnya nyawa dan kesengsaraan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi ini setara dengan apa yang akan terjadi secara bertahap jika kita tidak menghilangkan emisi karbon dunia.Penurunan emisi selama pandemi untuk mencapai pengurangan 8 persen ini mengorbankannyawa lebih dari 6 juta orang, dan puluhan juta orang kehilangan pekerjaan mereka. Selama berbulan-bulan, lalu lintas udara hampir sepenuhnya terhenti. Yang luar biasa bukanlah berapa banyak emisi yang turun karena pandemi, tetapi seberapa sedikit emisi yang turun.Singkatnya, kita ingin menurunkan emisi tanpa mengorbankan nyawa manusia. Namun, dengan kebiasaankita sekarang, kita masihtetap akan mengeluarkan 51 miliar ton karbon sebanyak yang kita lakukan sebelum pandemi. Mari kita lihat berapa biaya yang diperlukan untuk mencegah satu ton gas rumah kaca. Angka ini merupakan biayapencegahan per ton karbon menggunakan alat yang digunakan para ahli ekonomi untuk membandingkan biaya berbagai strategi pengurangan karbon. Misalnya, jika Indonesia memiliki teknologi yang dapat mencegah pelepasan 10.000 ton gas seharga satu juta dolar, dan menggunakannya untuk mencegah pelepasan gas karbon, maka negara lain akan membayar 100 dolar per ton karbon yang dicegah. Uang yang dibayar untuk pencegahan tersebut masih cukup mahal menurut banyak ahli ekonomi.Sekarang mari kita lihat harga pengurangan emisi karbon yang disebabkan oleh COVID-19 seperti strategi pencegahan karbon. Apakah dengan menutup sebagian besar perekonomian bisa mencegah emisi karbondengan biaya 100 dolar per ton?Jawabannya tidak. Di Amerika Serikat, menurut data dari Rhodium Group, sebuah lembaga independen yang menggabungkan data ekonomi dan kebijakan pemerintahan untuk menganalisis tren global, harganya berkisar antara 3.200-5.400 dolar per ton. Di Uni Eropa, jumlahnya kira-kira sama. Dengan kata lain, penutupan perekonomian menurut para ahli ekonomi memakan biaya lebih besar, antara 32 dan 54 kali lipat 100 dolar per ton. Kemudian, kita perkirakan nyawa yang hilang akibat COVID-19 versus perubahan iklim. Kita tidak dapat membandingkan jumlah kematian yang absolutkarena kita membandingkan peristiwa yang terjadi pada titik waktu yang berbeda, pandemi pada tahun 2020 dan perubahan iklim, katakanlah, tahun 2060, dan populasi global juga akan berubah pada rentang waktu itu. Sebagai gantinya kita akan menggunakan tingkat kematian: yaitu, jumlah kematian per 100.000 orang.Hingga April 2022, lebih dari 6 juta orang telah meninggal akibat COVID-19 di seluruh dunia. Secara tahunan, tingkat kematiannya adalah 140 per 100.000 orang.Bagaimana jika dibandingkan dengan perubahan iklim? Dalam 40 tahun ke depan, peningkatan suhu global diproyeksikan akan meningkatkan angka kematian global dengan jumlah yang sama yaitu 140 kematian per 100.000 orang. Pada akhir abad ini, jika pertumbuhan emisi tetap tinggi, perubahan iklim dapat menyebabkan700kematian tambahan per 100.000 orang. Dalam skenario emisi yang lebih rendah, tingkat kematian menjadi 100 kematian per 100.000 orang.Dengan kata lain, pada 2060, perubahan iklim bisa sama mematikannya dengan COVID-19, dan pada 2100 bisa lima kali lebih mematikan. Kisaran kemungkinan dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan COVID-19 sangat bervariasi, tergantung pada model ekonomi yang digunakan. Tetapi kesimpulannya tetap sama,dalam satu atau dua dekade berikutnya, kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim kemungkinan akan sama buruknya dengan pandemi COVID-19, dan pada akhir abad ini, akan jauh lebih buruk jika kita tetap mengeluarkan emisi seperti saat ini.Intinya adalahkita tetap harus optimis, meskipun perubahan iklim akan menjadi bencana yang menyedihkan. Jika kita belajar dari COVID-19, kita dapat menangani perubahan iklim dengan lebihbanyak memiliki pengetahuan tentang konsekuensi dari kelambanan tindakan, dan lebih siap untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Krisis yangdiakibatkan COVID-19 saat ini dapat menjadi pembelajaranbagi kita untuk menyiapkan tanggapan terhadap krisis berikutnya.Apa yang harus kita lakukan?
Pertama, inovasi sains. Penurunan emisi karbon yang relatif kecil dari terhentinya ekonomi akibat COVID-19 memberikan kita satu hal: Kita tidak dapat mencapai emisi karbon nol hanyadengan bersepeda atau menggunakan mobil listrik.Bersepeda atau menggunakan mobil listrik adalah hal yang baik bagi mereka yang mampu melakukannya.Sama seperti kita membutuhkan tes, perawatan, dan vaksin baru untuk COVID-19,kita juga membutuhkan alat baru untuk menangani perubahan iklim: menghasilkan listrik tanpa karbon, membuat barang-barang, menumbuhkan makanan, mendinginkan gedung, dan transportasi orang dan barang di seluruh dunia. Dan kita membutuhkan benih jagung, padi dan kentang yang baruuntuk beradaptasi dengan iklim yang kurang dapat diprediksi, serta inovasi lain untuk membantu orang-orang termiskin di dunia yang banyak di antaranya adalah petani kecil.Permasalahan kompleksperubahan iklim harus memanfaatkan banyak disiplin ilmu yang berbeda untuk menyelesaikannya. Perubahan iklim menyadarkan kita mengapa kita perlu menangani masalah ini, tetapi kita belum tahu bagaimana cara yang tepat untuk menghadapinya. Maka, kita membutuhkan inovasi dibidang biologi, kimia, fisika, ilmu politik, ekonomi, teknik, dan ilmu lainnya.Solusi untuk permasalahan iklim yang kompleks ini harus bisa diterapkan tidak hanya di Indoneisa tapi juga di negara miskin. Kita belum tahu persis apa dampak COVID-19 pada orang-orang di negara termiskin di dunia, tetapikemungkinan besar merekalahyangmengalami krisis terburuk akibat COVID-19. Hal yang sama jugaakan terjadi untuk perubahan iklim. Perubahan iklim akan merugikan orang-orang termiskin di dunia. Menurut sebuah studi terbaru yang diterbitkan oleh ClimateImpact Lab, sebuah kolaborasi unik dari 30 lebih ilmuwan iklim, ahli ekonomi, pakar komputasi, peneliti dan analisdari beberapa lembaga terkemuka, mengatakan meskipun perubahan iklim akan meningkatkanjumlah kematian keseluruhan secara global,kematian yang sangat besar akan terjadi di negara-negara miskin dibandingkan dengan negara kaya. Perubahan iklim akan secara dramatis meningkatkan angka kematian di negara-negara miskin dekat atau di bawah Khatulistiwa, di mana cuaca akan menjadi lebih panas dan lebih tidak dapat diprediksi.Pola ekonomi mungkin akan sama, hanya sedikit penurunan PDB yang akan terjadi di negara kaya, berbanding terbalik dengan penurunan besar-besaran yang akan terjadi di negara-negara yang lebih miskin dan lebih panas. Dengan kata lain, efek perubahan iklim hampir bisa dipastikan akan lebih parah daripada COVID-19, dan akan menjadi yang terburuk bagi orang-orang yang paling sedikit menyumbang emisi karbon, yaitu orang-orang yang tinggal di negara berpendapatan rendah dan miskin. Negara-negara yang paling berkontribusi terhadap masalah ini memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya.Selain itu, sumber energi bersih harus cukup murah agar negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah agar dapat membelinya. Negara-negara ini ingin menumbuhkan ekonomi mereka dengan membangun pabrik dan pusat perekonomian; jika pertumbuhan ini ditenagai oleh bahan bakar fosilyang sejauh ini merupakan pilihan paling ekonomis, maka akan lebih sulit lagi untuk mencapai Net Zero Emission (netralitas karbon). Pemerintah, ilmuwan, dan investor di seluruh dunia perlu fokus untuk membuat dan mengembangkan teknologi ramah lingkunganmenjadi cukup murah sehingga negara-negara berkembang tidak hanya menginginkannya, tetapi juga mampu membelinya. Beberapa negara dan investor telah memberikan pendanaan dan membuat kebijakan yang dapat membantu kita mencapai Net Zero Emission, tetapi itu tidak cukup, kita membutuhkan lebih banyak lagi untuk bergabung. Dan kita perlu bertindak dengan rasa urgensi yang sama seperti COVID-19. Kedua, mulai dari sekarang. Untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim membutuhkan waktu yang lama, tidak seperti penanganan COVID-19 yang bisa dengan cepat mengembangkan vaksin dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun. Perlu waktu puluhan tahun untuk mengembangkan dan menerapkan semua penemuan energi bersih.Kita memerlukan rencana yangkonkrituntuk menghindari bencana iklim, sebagai contoh, alat penyerap karbon yang ada sekarang masih membutuhkan banyak sekali pengembangan dan penerapan inovasi, serta dapat membantu negara termiskin untuk bisa beradaptasi dengan peningkatan suhu yang sudah dan akan terjadi. Jika kita mulai sekarang, memanfaatkaninovasi sains, dan memastikan bahwa solusi itu bisa diterapkan tidak hanya di negara-negara kaya tetapi juga untuk negara-negara miskin, kita dapat menghindari membuat kesalahan dalam menangani bencana perubahan iklim seperti pada krisis COVID-19. (*)