AGANA menerawang langit – langit kamarnya, kamarnya gelap namun tak seluruh gelap sebab lampu tidur dengan karakter pentol itu masih menyala dengan sinar redup diatas headboard kasurnya. Niatnya ingin menggalau, memutar playlist ‘sad night song’ kesukannaya dan menangis sepuasnya di dalam kamarnya, mengubur luka – lukanya, agar esok ia masih Agana yang sama, masih dengan wajah ceria dengan senyum manisnya. Namun, seluruh niatnya digagalkan dengan kehadiran seonggok dagin di sisi kirinya. Sungguh manusia biadap satu ini ingn sekali Agana tendang dari tempat tidurnya, Agana berusah memejamkan matanya, namun suara ngorok dari adiknya ini sungguh menyulut emosi paling besar dalam dirinya. Belum lagi, manusia titan ini menguasai tiga per empat kasurnya, dan Agana terpakat mepet lebih kearah menyerempet dengan dinding.
yamaha-- “Bumi, lo ngapain ke kamar gue! Sana, balik ke kemar lo!” Suruh Agana kesal yang direcoki oleh Bumi di kamar mandi, Agana sedang sikat gigi dan membasuh wajahnya lalu melakukan ritual skincare seperti biasanya. Tiba – tiba, Bumi datang sikat gigi bersamanya, bahkan turut memakai seluruh skincare yang ia gunakan, mengcopy paste segala kegiatannya. “BUMI!” Teriak Agana, melotot kepada Bumi melihat skincarenya dituang dengan sangat banyak, dipikir tidak mahal apa belinya. “Lo kalo mau skincare-an modal dong, jangan pakek punya gue!” Protes Agana yang hanya dibalas delikan oleh Bumi. Agana segara diam melihat delika mata Bumi, dan lanjut menggerutu dalam hatinya. Padahal disini Agana lebih tua satu tahun dari bumi, kan Agana kakaknya, lalu mengapa Bumi seolah yang mengatur segalanya. Agana juga salah sih, baru dapat delikan datar saja sudah langsung kicep. Begini nasib punya adik yang tidak kalah dingin dari kulkas 35 pintu. Sumpah, Agana kesal! Dalam hatinya, Agana mengumapti Bumi—adiknya dengan seluruh kata – kata kasar, “Bumi bajingan, brengsek, jahat, pelit, eh tapi kan Bumi adek gue!” Agana tidak menyadari bahwa bibirnya turut manyun yang dipandang Bumi dengan tatapan jahil. Bumi menarik kencang bibir Agana hingga Agana tampak seperti bebek, Agana bergumam sakit, memukul tangan Bumi untuk melepasnya namun dibalas Bumi dengan tatapan jahat mengejek. Namun, kegiatan itu tidak berlangsung lama, sebab Agana mencubit perut Bumi keras, hingga sang empu meringis sakit dan mengusap perutnya berkali – kali, menatap Agana tajam seolah mengancam ‘awas aja lo!’ yang dibalas Agana dengan wajah konyolnya. “Lo tau nggak sih cubitan lo tu sakit!” Kesal Bumi. “Li tiu nggik sih cibitin li ti cikit” Ejek Agana, “Memangnya lo pikir yang tadi nggak sakit!” Lanjut Agana dengan tatapan galaknya. “Ya mana gue tahu, kan lo yang ngerasain kok nanya gue!” balas Bumi dengan tatapan sengit, “Ya sama gue juga mana tau kalo cubitan gue sakit, kan lo yang ngerasain!” “BANG—”sat! Bumi membatin lanjutan katanya, sedang Agana tengah mengusap jari jempol dan telunjuknya, bersiap memberikan cubitan yang lebih kuat dari sebelumnya dengan tatapan horror. Bumi menatap Agana kelam, bersiap berlari jauh dari Agana namun kaosnya ditahan oleh Agana. “AKHHHH!” Bumi jumplitan, berteriak keras akibat cubitan Agana yang tidak main kuatnya, bahkan kulit perutnya terasa panas, perih dan berdenyut sakit. “Rasain lo! Siapa suruh ngomong kasar di rumah!” Ucap Agana lalu pergi meninggalkan Bumi yang masih meratap di kamar mandi. Layaknya remaja laki – laki umumnya, Agana memaklumi Bumi dengan segala keliaarannya, bukan bearti Agana tidak berkata bahwa dirinya liar, Agana liar namun tidak seliar Bumi di luar sana. Rumah adalah tempat satu – satunya pulang, tempat paling teduh yang akan meredakan Bumi dan Agana dari hiruk pikuknya polutan manusia, dan Agana selalu ingin rumah menjadi satu – satunya tempat untuk dirinya berbenah, menjadi lebih baik kedepannya. Jika diluaran sana, Agana dan Bumi bisa menjadi remaja bebas tanpa memikirkan apapun, maka dirumah tempat mereka menetralkan diri mereka, menjadi remaja baik, anak yang baik, harapan orangtua mereka. Agana tidak akan pernah mengekang Bumi, sebagai kakak Agana tidak akan mengatur Bumi melebihi peran orangtuanya, Agana akan selalu mendukung Bumi selama itu baik, dan sedikit menasehati serta membenahi adik laki – lakinya itu kala perbuatannya di rasa sedikit salah atau melenceng dari garis seharusnya. Agana tidak pernah ingin Bumi menjadi sosok ke-dua dirinya, sosok yang selalu hidup di bawah tekanan dan seluruh permintaan mamanya. Agana sudah berbaring nyaman di sisi kanan kasurnya, menempel dengan dinding. Menurut Agana, sisi paling nyaman untuk tidur itu sisi yang senantiasa bersisian dengan dinding. Playlist yang sudah diatur terputar dari MP3 kecil dari meja belajar Agana. Suasanya nyaman dan tenang walau kamarnya terang benderang. Keadaan tidak berlangsung lama, sebab Bumi yang mengacau, mematikan MP3, mematikan lampu dan tidur di sisi kiri Agana dengan tangan dan kaki yang menimpa Agana. Sebelumnya Bumi sempat menghidupkan lampu tidur dengan karakter pentol, hadiah darinya saat ulang tahun Agana tahun lalu, Bumi tau, Agana tidak akan bisa tidur tanpa cahaya. “Tidur! Gak usah ngegalau lo!” Ujar Bumi, “Siapa yang ngegalau coba?!” balas Agana. Bumi hanya diam, memeluk lengan Agana dari samping, Agana tidak nyaman dengan badan Bumi yang sudah menyerupai titan. Namun, Agana juga tidak menampik bahwa kehadiran Bumi cukup menghilangkan sedihnya. “Kak,” Panggil Bumi pelan setelah hening yang panjang. “Hmm?” Tidak ada lagi sahutan, Agana diam menunggu Bumi melanjutkan kalimatnya, “Kalo nanti, saat gue nggak ada di sisi lo sebagai adek, lo haru tau, cita – cita gue pengen lo bahagia,” Agana hanya membiarkan kata bumi mengapung di udara. “lebih dari saat ini.” Bisik Bumi pelan, setelahnya Agana dapat mendengar suara dengkuran halus dari Bumi, yang artinya Bumi sudah lelap menuju mimpinya. Agana tersenyum kecil, Bumi benar, Agana sudah bahagia saat ini, tidak ada salahnya Bumi ingin Agana lebih bahagia. “Semoga ya, dek.” Lirih Agana pelan, matanya berembun, menahan air yang daritadi terus mendobrak matanya. Luruh, Agana tidak tahan, jika saja Agana bisa, Agana juga ingin lebih bahagia, lebih dari bahagianya saat ini. “Sebentar lagi,” Batin Agana. Namun, sebentar lagi itu—sampai kapan? (bersambung)