Mirza mengatakan, aliran modal yang kembali ke Indonesia membuat situasi pasar keuangan dan pasar modal kian kondusif. Tak hanya rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang menguat, namun juga di pasar Surat Utang Negara (SUN). Dia menyebut, yield atau imbal hasil SUN yang sebelumnya sempat mendekati level 10 persen, kemarin sudah turun tajam ke kisaran 8,7 persen. \'Ini sangat bermanfaat karena berarti biaya utang pemerintah turun,\' jelasnya.
Namun, penguatan rupiah ini juga harus dibayar mahal. Sejak tekanan bertubi-tubi dalam satu bulan terakhir, BI terus berjibaku meredam anjloknya rupiah dengan melakukan operasi moneter di pasar uang.
Akibatnya, cadangan devisa pun langsung terkuras. Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara mengungkapkan bahwa BI mencatat posisi cadangan devisa Indonesia akhir September 2015 senilai USD 101,7 miliar. Posisi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan posisi cadangan devisa akhir Agustus 2015 senilai USD 105,3 miliar.
\"Perkembangan tersebut disebabkan oleh penggunaan cadangan devisa dalam rangka pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah,\" ujarnya di Jakarta, Rabu (7/10). Tirta menuturkan penurunan tersebut sejalan dengan komitmen Bank Sentral yang telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya guna mendukung terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Dengan perkembangan tersebut, lanjutnya, posisi cadangan devisa per
akhir September 2015 masih cukup membiayai 7,0 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. \"Cadangan devisa saat ini berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,\" tambahnya.
Otoritas moneter menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan
ekonomi Indonesia ke depan.
Penguatan tajam rupiah juga membuat para pelaku usaha di bidang ekspor
impor mulai melakukan kalkulasi ulang. Ketua Umum Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo) Khafid Sirotuddin mengatakan meski rupiah mulai menguat beberapa hari ini namun belum menjadi momen yang tepat untuk melakukan importasi.
\"Harga masih tinggi kalau mengimpor sekarang, terakhir kita impor waktu rupiah masih Rp 13.000 per dolar AS,\" tuturnya.
Saat delivery order (DO) importir harus membayar uang muka, selanjutnya saat buah dan sayuran di negara asal panen dan siap dikirim dolar malah menguat hingga tembus Rp 14.500 per dolar AS.
\"Harga dari penjual memang tetap misal USD 2 per kilo tapi kita bayarnya pakai rupiah jadi dari harusnya Rp 26.000 jadi Rp 29.000 perkilo. Nah kalau se kontainer?,\" keluhnya.
Para importir buah sekarang ini belum berani melakukan delivery order (DO) lagi khawatir dalam beberapa bulan kedepan dolar akan semakin menguat. Sebab jika kurs masih tinggi maka harga jual ke dalam negeri juga menjadi mahal.\"Masalahnya daya beli masyarakat sedang menurun.
Akibatnya banyak importir yang pilih jual rugi asal buah cepat laku, daripada busuk,\" tukasnya.
Sementara buah dan sayuran lokal belum bisa diandalkan untuk menggenjot ekspor. Padahal seharusnya pelemahan rupiah member keuntungan besar bagi ksportir.\"Belum banyak yang bisa kita ekspor paling cuma manggis, buah naga, mangga, salak. Itupun masih harus pakai pesawat karena volume yang diekspor kecil. Harganya mahal karena