Usai mendengarkan keterangan Nurhayati, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi Ujang Hariyadi kemudian diminta menyampaikan kesaksiannya setelah pekan lalu tak hadir.
‘‘Saya diminta pertama Rp50 juta oleh terdakwa Saifuddin,’’ ujar Ujang saat ditanya di persidangan.
Namun menurutnya dirinya hanya sanggup membayar Rp30 Juta. ‘‘Rp 10 juta dari kantong pribadi sementara Rp 20 juta saya pinjam,’‘ terangya.
Diketahui Rp 20 juta tersebut dipinjam dari PNS Disbudpar yang notabene bawahannya. Saat dilampirkan surat tanda penyetoran oleh KPK, Ujang mengatakan tidak meneken kertas yang tertulis Disbudpar 30 tersebut.
‘‘Saya tidak pegang pena dan kertas saat itu, jangan fitnah Pak Haji, Istigfar Pak Haji,’‘ sebutnya.
Ditanya majelis hakim kenapa tak menolak permintaan uang itu? Ujang menjawab dirinya tak nyaman untuk menolaknya.
Hakim Ketua Badrun Zaini cukup menyayangkan sikap saksi Ujang Haryadi karena dianggap menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
’‘Anda takut ke siapa? jujur anda sudah disumpah juga,’‘ ujar hakim ketua.
Sementara itu, terdakwa Saifuddin langsung angkat bicara terkait pernyataan dari saksi Ujang Hariyadi.
‘‘Coba jujur, saat saya minta ini uang untuk siapa, dan untuk apa, telah saya sebutkan saat itu,’‘ tekannya.
Selanjutnya, saksi ketiga adalah Nasri Umar, Ketua Fraksi Demokrat DPRD Provinsi Jambi. Keterangan yang diminta dari Nasri Umar lebih kepada rekaman percakapannya dengan Nurhayati serta pengetahuannnya dengan proyek yang memilik nama lain uang lelah ini.
‘’Coba jujur saja siapa yang menelpon dahulu?’’ tanya jaksa KPK yang dibarengi bukti rekaman suara keduanya.
Namun saksi masih berkilah denga alasan dirinya sakit saat itu sehingga tidak bisa hadir. ‘‘Saat ditelpon Nurhayati saya sedang sakit,‘‘ terangnya.
Dalam kesaksiannya, Nasri Umar mengatakan pernah didatangi oleh terdakwa Saifuddin dan Arfan. Yang tujuannya mengajak hadir di sidang paripurna pengesahan RAPBD.
‘‘Mereka mengatakan disuruh Effendi Hatta, dan saya telepon Effendi lalu duduk bersama di rumah,’‘ terangnya.