Wednesday, 24 February 2021
Oleh: Azrul Ananda
AKHIRNYA , setelah sekitar setahun, saya naik pesawat lagi. Ya, ya, ya, ini bukan sesuatu yang istimewa buat banyak orang. Tapi buat saya, ini benar-benar sesuatu. Hanya beberapa tahun lalu, saya bisa terbang 75 kali dalam 90 hari. Pekan ini, saya benar-benar baru kali pertama terbang setelah setahun! Sebelum ini, selama pandemi, ke mana-mana selalu jalan darat.
Pekan ini, saya di Pulau Lombok. Saya benar-benar harus ke sini. Ada beberapa urusan pekerjaan. Awalnya, sempat ingin memboyong seluruh keluarga ke sini. Toh anak-anak sekolah daring. Dari mana saja bisa. Pada akhirnya, setelah menimang-nimang, terbang hanya bersama istri.
Bahwa penerbangan pertama saya selama pandemi adalah ke Lombok, membuat saya merasakan ada \"sesuatu\" antara saya dan pulau ini. Dari dulu, saya terus terang lebih menyukai Lombok dari Bali. Bukan apa-apa, kebetulan saya lebih menyukai tempat yang lebih tenang, tidak hectic. Apalagi saya juga bukan tipe turis normal.
Dan kalau saya telusuri ke belakang, ada begitu banyak hal \"pertama\" yang membuat saya seolah punya ikatan dengan Lombok.
Misalnya, saat mulai mengembangkan liga basket pelajar DBL ke berbagai penjuru Indonesia. Kompetisi pelajar terbesar itu memang dimulai di Surabaya, di Jawa Timur, pada 2004. Pengembangan penyebarannya baru dimulai pada 2008. Tahun itu diselenggarakan di 11 kota di sepuluh provinsi, sebelum kemudian terus tumbuh menuju 30 kota di Indonesia, dari Aceh sampai Papua.
Pada 2008 itu, kota pertama penyebaran DBL di luar Jawa Timur adalah Mataram, Lombok. Ada sejumlah alasan kenapa Lombok yang pertama.
Timnya waktu itu sangat muda-muda. Tahan banting namun mungkin masih belum cukup matang untuk menghadapi masalah-masalah. Khususnya hal-hal lokal yang bersinggungan dengan birokrasi dan politik, dan itu sangat bervariasi di berbagai kota di Indonesia.
Ya, walau event liga pelajar, semua di Indonesia ini cenderung bersinggungan dengan dunia-dunia itu!
Karena itu, kami butuh tempat yang relatif kecil, relatif tenang, namun memberi peluang untuk \"ada kesan liburan.\" Penyelenggaraan DBL di Lombok pada 2008 adalah \"training camp\" untuk seluruh kru penyelenggara DBL. Semua kumpul di Lombok. Begitu yang di Lombok selesai, baru timnya berpencar dalam beberapa tim ke berbagai kota lain.
Penyelenggaraan perdana itu memang menunjukkan beberapa potensi masalah yang bisa muncul, berkaitan dengan tradisi olahraga dan birokrasi serta politik. Contoh paling sederhana: DBL tidak menyediakan sofa untuk pejabat tinggi, dan itu tentu dipermasalahkan (kami cuek, he he he).
Pada akhirnya, kompetisi perdana itu tergolong sangat sukses. Kami menjalin kolaborasi istimewa dengan partner penyelenggara, Lombok Post, yang terjaga sampai sekarang. Tradisi basket SMA di Nusa Tenggara Barat juga terus berkembang, tidak sekadar dikuasai sekolah-sekolah di Mataram.
Secara pribadi, penyelenggaraan DBL pertama di Lombok ini juga menandai kelahiran anak pertama saya, Ayrton.
Saat DBL berlangsung Januari 2008 itu, istri saya memang hamil sangat tua. Saat saya berangkat, anak saya belum juga lahir. Pada akhirnya, pada 24 Januari 2008, saya kembali ke Surabaya. Ayrton Senninha Ananda lahir. Pada 25 Januari pagi, saya sudah terbang lagi ke Mataram. Karena sore tanggal 25 itu adalah pertandingan finalnya!