>

Selamat Datang FK UIN Jambi: Kado Ulang Tahun Provinsi Jambi ke 67

Selamat Datang FK UIN Jambi: Kado Ulang Tahun Provinsi Jambi ke 67

Prof. H. Suaidi Asyari MA, PhD, Rektor UIN STS Jambi 2019-2023-Foto: Istimewa-

Ilmu Agama VS Umum: Cacat Bawaan?

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Kelahiran UIN (Universitas Islam Negeri) Sulthan Thaha Saifuddin JAMBI (STS) pada 1967, tadinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN), salah satu dari perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) di bawah kementerian Agama Republik Indonesia yang disebut Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada 1950 mempunyai cacat bawaan. Dia tidak bisa mengembangkan dirinya sebagai mana pendidikan tinggi lain sebagai mana mestinya. Cacat bawaan ini telah melahirkan berbagai ketimpangan dan cacat turunan lainnya. Keterbelakangan pendidikan, ekonomi, politik dan taraf kehidupan umat Islam lainnya selama puluhan tahun itu adalah akibat dari cacat bawaan ini.

Kelogisan awam yang terbangun adalah bahwa Kementerian Agama mengurus segala urusan agama. Oleh karena pendidikan Islam termasuk urusan agama maka segala jenjang pendidikan agama harus diurus oleh Kementerian Agama.

Melalui Undang-undang No. 4 tahun 1950 madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui secara formal. Melalui undang-undang ini maka Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Madrasah Tsanawiyah Pertama (4 tahun) dan Madarasah Tsanawiyah Atas (4) tahun dijadikan lembaga pendidikan yang diawasi Kementerian Agama.

Masih mengikuti kelogisan awam, maka pendidikan tinggi keagamaan Islam juga harus di bawah Kemenerian Agama. Pada Desember 1947 Sekolah Tinggi Islam (yang lahir 1945) dijadikan Universitas Islam Indonesia dengan 4 fakultas, yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ekonomi. 

Pada Agustus 1950 Fakultas Agama UII dijadikan (dicaplok?) menjadi Perguruan Tinggi Islam Negeri yang kemudian menjadi IAIN yang seterusnya menjadi UIN Sunan Kalijaga. Di sinilah penyakit cacat bawaan itu mulai bersemi. Pendidikan Tinggi “agama” diurus oleh Kementerian Agama dan selain itu, pendidikan umum/sekuler bukan urusannya.

Dengan tentu berbagai faktor lainnya, seperti perdebatan bidang keilmuan yang sudah mensejarah, maka urusan hukum, ekonomi, sosial politik, pertanian, pertambangan, termasuk kesehatan/kedokteran dan lainnya dianggap bukan urusan agama. Orang yang masuk fakultas tersebut namanya masuk fakultas/jurusan/program studi umum. Thus, urusan kesehatan yang bisa mengakibatkan kematianpun menjadi bukan urusan agama.

Bahwa segala aspek atau konten ilmu yang dianggap umum itu yang diajarkan, diteliti, dibahas, diperoleh dan dipraktikkan sewaktu kuliah sampai bekerja di tengah masyarakat semuanya terdapat rujukan atau tasfir dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad tidak dianggap. Itulah namanya kelogisan awam tadi.

Salah satu dari muara kelogisan awam yang dipakai di atas maka selama 50 tahun lebih PTAIN tidak mempunyai kelogisan, keberanian keluar dari pakem untuk membuka Fakultas Kedokteran. Kelogisan awam ini mempengaruhi pemikiran karena tidak ada aturannya maka hampir tidak ada inisiatif untuk itu.

Baru pada 2002 muncul inisiatif berani Prof. Azyumardi Azra dari UIN Jakarta. Pada 2005 berdirilah Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK. Bahwa Ilmu Kedokteran bukanlah wilayah ilmu umum/sekuler, tetapi adalah bagian penting dari ilmu keagamaan Islam. 

Inisiatif ini adalah muara dari kronologis/logis dari peristiwa akademik sebelumnya seperti berdirinya MAN Insan Cendikia Serpong yang tadi Magnet School atas gagasan besar dari Prof. B.J. Habibi dan teman-temannya (1996) untuk menyatukan antara Iman dan Taqwa (Imtaq) dan Ilmu Pengertahuan dan Teknologi (IPTEK). Akan tetapi kemudian alumni dari sekolah MAN IC ini tidak mempunyai kelanjutan yang singkron. Ketika masuk ke PT Umum maka ilmu keagamannya tidak terlihat atau terabaikan. Sebaliknya ketika masuk ke PTKIN maka tidak ada fakultas yang pas untuk itu.

Beberapa tahun kemudian terjadi diskusi dan debat tentang integrasi ilmu, yang sebagiannya sebagai kelanjutan dari perdebatan lama antara ulama Islam. Debat teoritis normatif inilah kemudian menjadi salah satu faktor utama sejumlah tokoh mengambil langkah untuk mengempiriskannya menjadi kenyataan kelembagaan di UIN. Dimulai dari transformasi IAIN menjadi UIN. Kemuan berdirilah sejumlah Fakultas atau program studi yang tadinya dianggap bukan urasan Islam itu. 

Diantara tokoh berikutnya Prof. Imam Suprayogo dari UIN Malang, Prof. Azhar Arsyad dari UIN Makassar, dan Prof. Amin Abdullah dari UIN Yogyakarta. Diantara tokoh ini, hanya UIN Yogyakarta yang tidak berlanjut dalam bentuk empiris lahirnya kelembagaan Fakultas Kedokteran.

Upaya Mengobati Cacat Bawaan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: