Politisasi Institusi Pendidikan Tinggi? Kontradiktif Kualitas Akademik
Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Investasi, yang berhasil meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI). -Foto: Istimewa-
Oleh: Syahmardi Yacob*
Pencapaian Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Investasi, yang berhasil meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) dalam waktu singkat kurang dari dua tahun, telah menjadi sorotan dan memicu perdebatan hangat di kalangan akademisi dan masyarakat. Di satu sisi, pencapaian akademik seorang pejabat tinggi seperti Bahlil patut diapresiasi, namun di sisi lain, proses perolehan gelar ini mengundang pertanyaan mendalam terkait keabsahan prosedur, integritas akademik, dan potensi adanya pengaruh eksternal. Apakah gelar doktor ini mencerminkan standar kualitas yang tinggi, atau justru mencerminkan politisasi institusi pendidikan?
Dengan latar belakang peraturan terbaru yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2023 dan 2024, kritik terhadap pemberian gelar ini semakin tajam. Diskusi seputar standar akademik yang ketat, transparansi dalam proses pengujian, serta etika yang harus dijunjung tinggi oleh institusi pendidikan tinggi telah menjadi isu sentral. Apakah gelar akademik kini rentan dipolitisasi atau masih menjadi lambang prestasi ilmiah murni? Pertanyaan ini menggugah refleksi lebih dalam tentang masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.
Standar Akademik dan Peraturan yang Berlaku
Program doktoral di Indonesia dirancang untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa menjalani proses penelitian yang mendalam dan menghasilkan kontribusi ilmiah yang signifikan. Berdasarkan Permendikbud Nomor 53 Tahun 2023, program doktoral harus mencakup minimal 42 SKS dan diselesaikan dalam waktu minimal 6 semester atau setara dengan 3 tahun. Standar ini tidak hanya dimaksudkan untuk menjamin bahwa mahasiswa menjalani proses akademik yang komprehensif, tetapi juga bahwa mereka menghasilkan karya yang sesuai dengan standar penelitian internasional.
Namun, ketika Bahlil Lahadalia mampu meraih gelar doktor dalam waktu yang dianggap singkat, muncul pertanyaan tentang apakah standar-standar ini dipenuhi. Berdasarkan regulasi, mahasiswa doktoral harus menerbitkan hasil penelitian di jurnal bereputasi sebagai bagian dari kontribusi ilmiah mereka. Apakah penelitian Bahlil telah dipublikasikan dan diuji secara objektif oleh penguji yang independen dan kompeten? Jika tidak ada transparansi dalam proses pengujian ini, maka publik berhak merasa khawatir bahwa ada kelonggaran dalam penerapan standar yang mengutamakan kualitas akademik.
Potensi Politisasi dan Pengaruh Eksternal
Kasus ini juga memunculkan kekhawatiran tentang politisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbud Nomor 59 Tahun 2024 dengan tegas mengatur bahwa institusi pendidikan tinggi harus menjamin bahwa proses pemberian gelar akademik bebas dari pengaruh politik. Universitas Indonesia, sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terkemuka, dituntut untuk menjaga independensi akademiknya dari intervensi eksternal, terutama pengaruh politik.
Ketika seorang tokoh politik seperti Bahlil menerima gelar doktor dengan cepat, muncul kecurigaan bahwa status politiknya mungkin telah mempengaruhi proses akademik. Jika benar terjadi, hal ini akan mencederai prinsip meritokrasi dalam pendidikan tinggi, yang seharusnya menilai setiap mahasiswa berdasarkan kontribusi intelektual, bukan status sosial atau jabatan politik. Politisasi seperti ini dapat merusak reputasi universitas, menciptakan preseden buruk, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi akademik.
Dampak Terhadap Moral dan Motivasi Mahasiswa
Selain itu, kasus ini juga menimbulkan dampak moral yang serius bagi mahasiswa doktoral lainnya. Sebagian besar mahasiswa doktoral di Indonesia menghabiskan waktu antara 4 hingga 6 tahun untuk menyelesaikan program studi mereka. Mereka diharuskan menjalani berbagai tahapan penelitian, publikasi, dan pengujian yang ketat sesuai dengan standar akademik. Permendikbud Nomor 53Tahun 2023 menegaskan bahwa mahasiswa doktoral harus melewati seluruh proses tersebut sebelum menerima gelar akademik mereka.
Ketika seorang tokoh politik dapat menyelesaikan program doktoralnya dalam waktu singkat, mahasiswa lain yang tengah berjuang keras bisa merasa diperlakukan tidak adil. Hal ini dapat melemahkan motivasi mereka dan mengurangi kepercayaan terhadap sistem pendidikan yang seharusnya berdasarkan prinsip keadilan akademik. Apakah semua mahasiswa diperlakukan sama dalam menjalani proses akademik? Jika gelar dapat diperoleh dengan mudah oleh mereka yang memiliki pengaruh politik, ini akan menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam.
Pentingnya Orisinalitas dan Pencegahan Plagiarisme
Orisinalitas dalam karya ilmiah adalah prinsip yang tidak bisa ditawar dalam pendidikan tinggi. Permendikbud Nomor 60 Tahun 2023 dengan jelas menyatakan bahwa disertasi doktoral harus melalui uji plagiarisme untuk memastikan bahwa karya tersebut orisinal dan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Setiap disertasi harus diujikan dengan alat seperti Turnitin guna memastikan bahwa tidak ada unsur plagiarisme.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: