Paradok Perguruan Tinggi Negeri: Perspektif Manajemen Pemasaran
Syahmardi Yacob--
Salah satu contoh studi kasus yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung adalah salah satu PTN yang sangat agresif dalam memanfaatkan media digital untuk promosi. Melalui berbagai kampanye digital, Unpad berhasil menarik perhatian ribuan calon mahasiswa dari seluruh Indonesia setiap tahunnya. Mereka menggunakan media sosial, situs web interaktif, dan kampanye iklan online untuk mempromosikan berbagai program studi yang ditawarkan. Strategi ini terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah pendaftar, bahkan di tengah persaingan yang ketat.
Namun, promosi yang agresif ini juga membawa tantangan tersendiri. Studi kasus di Unpad menunjukkan bahwa, meskipun kampanye promosi mereka berhasil meningkatkan jumlah pendaftar, beberapa mahasiswa mengeluhkan bahwa fasilitas dan layanan yang tersedia tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam promosi. Misalnya, beberapa program studi yang dipromosikan sebagai unggulan ternyata menghadapi masalah seperti kurangnya tenaga pengajar berkualitas, keterbatasan infrastruktur, atau dukungan akademik yang tidak memadai.
Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun promosi berhasil menarik minat, ada risiko besar ketika PTN tidak memiliki strategi keberlanjutan yang memadai untuk mendukung pertumbuhan yang dihasilkan dari kampanye promosi tersebut. Ketika harapan mahasiswa tidak terpenuhi, hal ini dapat merusak reputasi PTN dan menurunkan tingkat loyalitas mahasiswa. Dalam jangka panjang, ini dapat berdampak negatif pada citra universitas dan mengurangi daya tariknya di masa depan.
Studi empiris dari Chaffey dan Ellis-Chadwick (2021) mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa promosi yang berlebihan tanpa dasar operasional yang kuat dapat menyebabkan brand dilution dan kehilangan kepercayaan dari konsumen, dalam hal ini, mahasiswa. Oleh karena itu, PTN harus lebih berhati-hati dalam merencanakan kampanye promosi mereka, memastikan bahwa setiap janji yang diberikan kepada calon mahasiswa dapat dipenuhi dengan standar kualitas yang tinggi dan konsisten.
Paradoks Relasi dengan Stakeholder vs. Otonomi Kampus
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia tidak hanya berperan sebagai lembaga akademik, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki tanggung jawab sosial, ekonomi, dan budaya yang luas. Sebagai bagian dari struktur pendidikan nasional, PTN memiliki banyak pemangku kepentingan atau stakeholders, yang meliputi pemerintah, industri, alumni, mahasiswa, masyarakat, dan lembaga internasional. Masing-masing kelompok ini memiliki ekspektasi dan tuntutan yang berbeda terhadap PTN, yang sering kali memengaruhi arah kebijakan dan pengambilan keputusan di dalam kampus.
Pemerintah, misalnya, memiliki peran sentral dalam pengelolaan PTN, terutama dalam hal pendanaan, regulasi, dan kebijakan pendidikan nasional. Pemerintah bertanggung jawab memastikan bahwa PTN beroperasi sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional, serta mematuhi berbagai regulasi yang telah ditetapkan. Ini termasuk alokasi dana, kurikulum, standar akreditasi, dan program-program nasional lainnya. Sementara itu, industri sering kali lebih fokus pada aspek praktikal, seperti kesiapan lulusan untuk masuk ke dunia kerja dan kemampuan PTN dalam menghasilkan inovasi yang dapat diintegrasikan ke dalam proses produksi atau layanan mereka. Alumni dan mahasiswa memiliki harapan yang lebih spesifik terkait kualitas pendidikan, peluang kerja, dan reputasi universitas, sedangkan masyarakat umum mungkin lebih tertarik pada peran sosial dan kontribusi PTN terhadap pembangunan lokal.
Paradoks yang muncul dalam konteks ini adalah bagaimana PTN dapat mengelola relasi dengan berbagai stakeholders ini tanpa mengorbankan otonomi kampus. Otonomi kampus mencakup kemampuan PTN untuk menentukan arah akademik, kebijakan internal, serta prioritas pengembangan tanpa harus selalu tunduk pada tekanan eksternal. Otonomi ini penting untuk memastikan bahwa PTN dapat tetap inovatif, fleksibel, dan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan kebutuhan akademik dan sosial. Namun, tekanan dari berbagai stakeholders sering kali memaksa PTN untuk menyesuaikan kurikulum, metode pengajaran, dan prioritas riset mereka agar selaras dengan harapan eksternal, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan visi akademik jangka panjang universitas.
Salah satu contoh konkret dari paradoks ini adalah yang terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. UGM, sebagai salah satu PTN terkemuka di Indonesia, memiliki hubungan yang sangat kuat dengan berbagai stakeholders, termasuk pemerintah, industri, alumni, dan masyarakat lokal. Hubungan ini memberikan UGM banyak manfaat, seperti dukungan finansial, kemitraan riset, dan peningkatan reputasi. Namun, hubungan ini juga membawa tantangan tersendiri dalam hal otonomi kampus.
Pada tahun 2021, UGM menghadapi tekanan dari pemerintah dan industri untuk menyesuaikan kurikulum mereka agar lebih sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan kebijakan pemerintah terkait pembangunan ekonomi. Sebagai contoh, beberapa program studi di bidang teknik dan ekonomi diharuskan untuk memasukkan lebih banyak elemen praktikal dan keahlian teknis yang langsung dapat diterapkan di dunia kerja. Meskipun ini sejalan dengan kebutuhan industri dan kebijakan nasional, perubahan ini tidak sepenuhnya sejalan dengan visi akademik jangka panjang UGM yang lebih berfokus pada pengembangan pengetahuan teoritis dan penelitian dasar.
Freeman (2020) dalam konsep stakeholder management menekankan pentingnya identifikasi, analisis, dan pemenuhan kebutuhan stakeholders secara strategis tanpa mengorbankan tujuan utama organisasi. Dalam konteks UGM, hal ini berarti universitas harus mengelola ekspektasi dari berbagai stakeholders dengan cara yang memungkinkan mereka tetap mempertahankan otonomi akademik. Salah satu cara yang dilakukan UGM adalah dengan mengembangkan program dual-track, di mana kurikulum dasar tetap mempertahankan fokus akademik yang kuat, sementara jalur lain disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan industri melalui program magang dan pelatihan teknis.
Selain itu, UGM juga memperkuat komunikasi dan kolaborasi dengan stakeholders melalui forum konsultasi reguler, di mana perwakilan dari pemerintah, industri, alumni, dan masyarakat dapat menyampaikan pandangan mereka mengenai arah kebijakan universitas. Forum ini memungkinkan UGM untuk mendapatkan masukan dari stakeholders tanpa harus mengorbankan otonomi mereka dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, UGM berhasil membangun relasi yang harmonis dengan berbagai stakeholders, sambil tetap mempertahankan identitas dan independensi akademik mereka.
Paradoks antara relasi dengan stakeholders dan otonomi kampus merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh PTN dalam konteks manajemen pemasaran dan operasional. Dengan mengadopsi pendekatan stakeholder management yang strategis, PTN dapat mengelola ekspektasi berbagai pihak secara efektif tanpa harus mengorbankan kebebasan akademik mereka. Komunikasi yang transparan, kolaborasi yang erat, serta perencanaan yang matang adalah kunci untuk menciptakan keseimbangan antara memenuhi tuntutan stakeholders dan menjaga otonomi kampus. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat hubungan PTN dengan stakeholders, tetapi juga memastikan bahwa universitas tetap mampu berinovasi dan berkembang sesuai dengan visi dan misi akademik mereka.
Kesimpulan
Paradok Perguruan Tinggi Negeri dari perspektif manajemen pemasaran mencerminkan kompleksitas yang dihadapi oleh PTN dalam mengelola merek, diferensiasi, promosi, dan relasi dengan stakeholders. Setiap aspek ini saling terkait dan memengaruhi bagaimana PTN membentuk citra, menarik mahasiswa, dan mempertahankan reputasi akademiknya. Di tengah tekanan untuk terus berinovasi dan bersaing di pasar global, PTN harus menemukan cara untuk menyeimbangkan berbagai paradoks ini agar dapat mempertahankan daya saing mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: