>

Analisis Permasalahan Hukum dan Kekuasaan di Rempang Dalam Persepektif Filsafat Hukum

Analisis Permasalahan Hukum dan Kekuasaan di Rempang Dalam Persepektif Filsafat Hukum

Farrel Shaquille Nugraha--

Oleh: Farrel Shaquille Nugraha

Konflik yang terjadi di Pulau Rempang baru-baru ini telah menjadi sorotan di dunia maya. Mengapa tidak? Kericuhan antara aparat kepolisian dan warga setempat telah menciptakan suasana tegang di daerah tersebut, banyak Masyarakat yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di daerah Rempang tersebut?

Kejadian ini berawal pada hari Kamis 7 September 2023 ketika pihak berwajib datang ke lokasi untuk melakukan pembersihan dan pengosongan lahan. Namun, lokasi tersebut ternyata telah dihuni oleh sejumlah warga terlebih dulu tinggal di daerah tersebut. Kericuhan pun tidak dapatdihindarkan dan insiden ini juga dilaporkan telah menimbulkan korban jiwa. 

Sebelum berbicara lebih lanjut ada baiknya kita membahas Sejarah permasalahan Pulau Rempang ini, Pulau ini sebenarnya merupakan milik dari Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Menurut berbagai sumber rencananya pada tahun 2014 pulau ini akan dimasuki oleh investor setelah izinnya dikeluarkan pada tahun 2001. Awalnya, lahan di Pulau Rempang akan dikelola oleh PT MEG, yang merupakan bagian dari Artha Graha Grup milik Tommy Winata. PT MEG diberi konsesi selama 30 tahun untuk mengelola kawasan tersebut, dan akan diperpanjang hingga 80 tahun. 

Pada tahun 2023, perusahaan asal China, Xinyi, berencana untuk berinvestasi di Pulau Rempang dengan nilai mencapai Rp172 triliun. Rencananya, daerah tersebut akan dibangun menjadi Rempang Eco-City, yang merupakan kawasan industri hijau, jasa, dan pariwisata.Namun, ketika investor ingin memasuki kawasan tersebut, ternyata lahan tersebut telah ditempati oleh warga sekitar.

Ini mengakibatkan bentrokan antara pihak kepolisian dan masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau Rempang tidak dapat dihindari. Para warga setempat meyakini bahwa tanah di Pulau Rempang tersebut adalah tanah ulayat yang harus dipertahankan. 

Jika masalah pulau Rempang tersebut dilihat dari prespektif filsafat hukum sebenarnya Tujuan hukum itutersendiri dibuat ialah untuk dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada masing-masing  individu, barulah kepada masyarakat luas. Undang-undang yang banyakmemberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dipandang sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata- mata sebagai alat untuk mencapaimanfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.

Bisa kita lihat dari permasalah diatas terjadi kesalah pahaman antara Masyarakat adat di pulau Rempang dan pemerintah mengenai hak kepemilikan tanah di wilayah tersebut. Penelusuran riwayat tanah melalui sejarah penting untuk memahami hak kepemilikan tanah itu sendiri, Sejarah dapat menjadi dasar untuk menentukan keabsahan klaim hak kepemilikan tanah oleh masyarakat Adat.

Masyarakat adat tak perlu takut dan khawatir akan keadilan dalam konflik yang terjadi saat ini, bisa dilihat dari UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat (2) dan ayat (3), yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Masyarakat hukum adat akan tetap dilindungi asalakan memiliki bukti bukti yang sah atas kepemilikan wilayah tersebut. Selain itu dalam pengadaan tanah untuk pembangunan (PTUP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga telah menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat merupakan salah satu dari pihak yang berhak menerima ganti kerugian (penjelasan Pasal 40).

UU tersebut juga menyebutkan bahwa ganti kerugian atas tanah ulayat dapat berupa tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat tersebut.

Permasalan dari masyarakat suku asli Rempang mereka tidak memliki surat legalitas lahan (beberapa hanya memiliki legalitas bangunan) dikarenakan dari dulu semua ada dibawah otoritas Batam. Sehingga mereka tidak dapat membuktikan kepemilikan penuh tanah tersebut juga yang mana sebagai syarat untuk mendapat hak yang telah dijanjikan oleh pemerintahan.

Pelajaran yang dapat kita ambil adalah hukum formal yang ditegakan melalui hukum positif di Indonesia yang dikatakan menjunjung tinggi rule of law, ternyata belum mampu mewujudkan keadilan yang substansial, diharapkkan nantinya penegakan hukum formal dapat ditegakan seadil adilnya agar masalah-masalah seperti ini tidak terjadi lagi. Butuh kolaborasi antara Masyarakat dan pemerintah agar dapat terciptanya Atmosfer hukum yang baik di Masyarakat. (*)

*) Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: