Replanting (PSR): Reset dan Restart Bisnis Petani Sawit
Wawan Dinawan--
Oleh: Wawan Dinawan
Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang tengah digalakkan oleh pemerintah sejatinya tidak hanya sekadar menumbang tanaman lama dan menggantinya dengan tanaman baru. Lebih dari itu PSR harus dimaknai dengan semangat baru untuk mengembangkan bisnisnya; berkebun kelapa Sawit.
Sebab, peremajaan atau replanting pada dasarnya tidak didasari oleh umur tanaman yang telah tua tetapi didasari oleh perimbangan biaya dan manfaat. Bisa jadi, ada tanaman yang telah lebih dari 25 tahun, namun karena manfaatnya masih lebih besar dibandingkan dengan biayanya, tanaman tersebut tidak dilakukan peremajaan.
Atau, tanaman tersebut masih di bawah 20 tahun, namun secara produktivitas sudah jauh lebih rendah dibandingkan dengan potensinya. Sehingga, biaya yang dikeluarkan untuk mengelola tanaman tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang didapat. Itulah yang biasa disebut oleh pengusaha dengan cost and benefit analysis.
Jika sebuah telepon genggam (handphone) yang mengalami gangguan yang mengakibatkan tergangunya aktivitas manusia pada gawai tersebut, maka yang dilakukan untuk memperbaikinya adalah dengan melakukan reset to factory setting atau kembali kepada setelan pabrik untuk mengembalikan performanya. Hal yang sama dilakukan oleh pekebun kelapa sawit. Jika sudah tidak produktif lagi, maka kebun harus segera di reset agar kembali normal.
Jadi, pilihan reset atau tidak, bergantung kepada biaya dan manfaat yang diwakili oleh produktivitas (yield) kebun kelapa sawit. Sehingga, indikator keberhasilan replanting itu juga jelas, yakni kembali atau meningkatnya produktivitas kebun sawit tersebut.
Praktis, ketika replanting, hanya ada dua komponen yang sama sekali tidak berubah yakni jenis tanah dan luas lahan. Sisanya, masih bisa diubah. Tentu, mengubah spesifikasi akan mengubah juga produktivitasnya. Oleh karena, ketika replanting, petani harus memikirkan secara benar mekanisme replanting agar tujuan replanting tercapai.
Dalam catatan perjalanan saya selama beberapa tahun terakhir, nampaknya tidak semua petani sawit berpikir secara matang dengan mempertimbangkan biaya dan manfaatnya.
Ada petani yang menyisip kebun yang masih produktif dengan bibit sawit yang direncanakan akan ditanam. Selain kompetisi unsur hara yang menyebabkan produktivitas keduanya terganggu, model ini dapat mengakibatkan tidak idealnya SPH atau jumlah sawit per hektar. SPH ini sebenarnya adalah perhitungan optimal dari banyaknya tanaman yang bisa ditanam, dan kualitas TBS yang bisa dihasilkan. Jadi pasti produktivitasnya tidak optimal.
Ini hanya salah satu contoh. Masih banyak contoh “metode asal replanting” yang diterapkan oleh petani kelapa sawit. Konsep “yang penting murah” sangat berbahaya bagi masa depan petani kelapa sawit.
Reset ini juga bermakna restart, memulai kembali. Maka, sangat penting untuk memulai dengan baik, dengan persiapan yang matang.
“Dosa” terbesar dalam berkebun kelapa sawit adalah saat menanam. Karena dosa ini, sepanjang berkebun, para petani dan pengusaha tidak mendapatkan hasil yang sesuai, bahkan ada yang tidak menghasilkan. Oleh karenanya, petani kelapa sawit harus benar-benar memperhatikan cara menumbang dan cara menanam. Petani harus memastikan beberapa hal yakni bibit yang bersertifikat, SPH yang sesuai, pola tanam yang tepat, dan perawatan yang baik.
Semua hal ini berat, kecuali dengan berkelembagaan semisal koperasi dan berada pada lingkungan yang dekat. Replanting sendirian, adalah “dosa” yang sangat panjang dampaknya bagi petani itu sendiri. (*)
*) Penulis Adalah Pemerhati Kelapa Sawit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: