Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa di Sungai Penuh 143 Tahun Lalu Bermula dari Membeli Buah Kopi

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa di Sungai Penuh 143 Tahun Lalu Bermula dari Membeli Buah Kopi

Kota Sungai Penuh merupakan kota heterogen yang hidup berdampingan masyarakat dengan damai dari berbagai jenis suku dan etnis termasuk Tionghoa-Foto: Dona/Jambi Ekspres-

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Sungai Penuh merupakan daerah paling heterogen di Provinsi Jambi bagian barat. Di sini hidup berdampingan berbagai suku dan etnis, termasuk warga Tionghoa.

 

Kehadiran warga Tionghoa di Sungai Penuh diketahui sejak tahun 1889 atau sekitar 143 tahun silam.

 

Mengutip dari Jurnal Pendidikan Tambusai yang ditulis oleh Yana Liza, Firman dan Rusnidal dengan judul Makna Pemakaman Bagi Etnis Tionghoa Sungai Penuh, ditulis bahwa kedatangan warga Tionghoa ke Sungai Penuh terkait dengan aktivitasnya dalam perdagangan.

 

Pedagang Tionghoa ketika itu datang untuk membeli buah kopi penduduk. Mereka datang dari wilayah Padang Sumatera Barat.

 

Warga Tionghoa ini membeli dalam skala kecil-kecilan hasil panen kopi, dan melakukan transaksi jual beli di Pasar Sungai Penuh.

 

Kopi-kopi ini kemudian mereka bawa dan jual ke gudang yang ada di Padang.

 

Karena jarak tempuh yang sangat jauh antara Sungai Penuh dan Padang, tak bisa dilakukan dalam sehari, warga Tionghoa ini kemudian menginap di Sungai Penuh untuk beristirahat.

 

Kemudian lama-kelamaan sebagian dari mereka memilih menetap di Sungai Penuh. Masyarakat Sungai Penuh yang saat itu mulai terbiasa dengan kehadiran pedagang Tionghoa, bertoleransi dan tak mempermasalahkan mereka untuk tinggal.

 

Beberapa sumber lain juga mengatakan, kehadiran masyarakat Tionghoa di Kerinci terhubung juga dengan pembukaan kebun teh di kaki Gunung Kerinci Kayu Aro.

 

Belanda mempekerjakan warga Tionghoa untuk membangun dan mengembangkan pabrik teh yang ada di Kerinci.

 

Jumlah masyarakat Tionghoa semakin bertambah, kemudian mereka membentuk komunitasnya sendiri dan berpusat di Sungai Penuh.

 

Seiring berjalannya waktu, dibangun pula sarana ibadah dan mereka memiliki tempat pemakamannya sendiri yaitu Bukit Sentiong.

 

Pemilihan bukit Sentiong sebagai lokasi pemakaman, konon juga ikut ditentukan oleh Pemerintah Belanda yang saat itu masih menguasai Sungai Penuh.

 

Belanda lah yang menentukan bahwa pemakaman kelompok masyarakat Tionghoa yang tinggal dan meninggal di Sungai Penuh, harus dilakukan di sebuah lokasi perbukitan tak jauh dari pusat pemukiman penduduk.

 

Masyarakat Tionghoa di Sungai Penuh juga masih mempertahankan tradisi leluhurnya. Kebanyakan prosesi pemakaman masih menggunakan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang mereka yang berasal dari Tiongkok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: