“Wanita Promblematik di Bulan Januari”

“Wanita Promblematik di Bulan Januari”

ilustrasi--

“Solusi terbaik itu yang dipikir 50% yang dirasa 50%, kalo cuma dipikir tanpa dirasa itu namanya kepentingan diri, tapi kalo dirasa tanpa dipikir itu namanya merugikan diri sendiri”

>>>***<<<

Jara pernah dengar “Ya kalo capek, capek aja, nangis aja, nggak usah sok kuat.”, sebenarnya nggak ada yang salah dari kalimat itu, tapi bagi Jara yang apa – apanya terbiasa mandiri, terbiasa untuk kuat sendiri, kalimat itu jadi topik yang luar biasa sensitif untuknya.

Nangis boleh, ya tapi nggak setiap momen duka dan down ditangisi, ada lebih dari seribu satu cara didunia ini buat healing, ada lebih dari jutaan tempat yang buka tiap malamnya untuk party, ada ada milyaran rumah tuhan yang bisa dikunjungi, kenapa depresi dan frustasi itu harus jadi hal luar biasa yang dibesar – besarkan sih? Please, stop jadi manusia yang dikatain dikit aja, sudah merasa jadi manusia yang paling terluka.

Pemikiran Jara ini nggak sekali dua kali jadi kontrovesrsi, diingatkan berkali – kali, ada namanya presepsi pribadi yang baiknya disimpan sendiri, nggak semua steatment yang ada di kepala kita itu semua orang harus tau, karena pengertian dan penafsiran banyaknya manusia ini ya nggak bisa disamaratakan. Tapi, Jara yang keras kepalanya luar biasa itu, susah diberhentikannya. Sampai dia lupa, kalo di bumi yang luar biasa luas ini, dia nggak hidup sendirian, hingga hari dimana, Jara tau kalo pemikirannya itu buat dirinya sepi dan sendiri.

“Gua berharap mereka bisa lebih bahagia, kalo mereka nggak suka party di senopati, mereka bisa ngadu ke tuhan masing – masing. Kalo caranya masih nggak mampu, ada banyak orang professional yang bisa bantu, apa sih yang buat mereka jadi manusia gila – gila depresi dan frustasi gitu? Apa sakit jiwa itu udah jadi semacam trend?!” Jara hampir menjatuhkan gelasnya ke lantai, sejak dua jam lalu ia habiskan malamnya diantara kelap kelipnya lampu dansa dan suara berisik dari puluhan manusia yang bergerak liar seiring dentuman musik dari pengeras suara. Rambutnya acak – acakan, dua kancing atas kamejanya terbuka, wajahnya memerah dengan tatapan sayu, Jara yang biasanya luar biasa strict pada penampilannya, kini terlihat lebih berantakan dari Sisca—junior di kantornya—yang sering ia caci sebab tampilannya yang menurutnya kampungan

Jara berjalan sempoyanga, uangnya ia tinggalkan serampangan, tidak peduli berapa banyak nomial yang ia keluarkan cuma – cuma malam itu. Satu – satunya yang ia mau, ia hanya ingin tenang dan lepas dari kusutnya benak dan kepalanya. Juga rasa dihatinya yang buat ia gamang dalam bertindak, hal yang dirasanya jadi beban, tapi luar biasa ia susah di ungkapkan. Dan bersenang – senang hingga fajar tiba jadi jalan yang ia pilih, walau tidak memberi reaksi apa – apa padanya, selain tenggorakannya yang terasa panas terbakar dan kepalanya yang sangat sakit, serta tubuhnya yang terus saja merasa diajak berputar – putar hingga perutnya menggelonjak untuk mengeluarkan seluruh isinya. Jara memuntahkan seluruh makannya hari itu di pinggir parkiran restoran yang juga merangkap jadi klub malam tersebut.

“JARA!”

Jara tersenyum lesu, wajahnya pucat, tangannya gemetar bertopang pada tiang listrik di sampingnya. Jara menatap dua orang yang tengah berlari menghampirinya, ia pikir simpati dan peduli untuknya habis di hari dimana ia mendapati dirinya tidak lagi menjadi bagian dari perbincangan asyik dan topik hangat kala itu, hari dimana ia mendapati dirinya terlalu berantakan dari balik pantulan cermin, kala ia mendapati bayangannya lebih menyedihkan dari rumput liar dipinggir jalan. Tepat di pergantian tahun, kala detak jam dinding tepat di angka 12, di hari perayaan kembang api seluruh kota tengah menyala, Jara masih jadi manusia yang sama problematiknya, yang paham hal baru, masalah itu nggak datang melulu dari diri sendiri atau manusia lainnya, adanya dicipatkan atau sengaja diundang, lain pula yang memang datang berkunjung. Jara masih manusia yang tau diri, kalo masalahnya ini, masalah yang sengaja ia ciptakan, satu – satunya perihal yang bisa ia perbaiki itu ya dirinya, jadi manusia yang bisa intropeksi diri. Nggak semua jalannya dunia ini bisa ia mengerti, sebab ada yang namanya isi hati, yang kadang kala jauh dari akal rasional, tapi ampuh jadi penyembuh perihal dramanya manusia. (Bersambung)


Ari Hardianah Harahap--

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: