Pohon Beringin: Romantis Bukan Mistis
ilustrasi--
Tawa Aranda pecah, dengar kalimat clingy dan sebutan baru Aku-kamu antar mereka. Pemuda didepannya ini kakunya luar biasa, 6 bulan bersama pertama kalinya pemudah itu bilang Cinta, kalimat ragu – ragu itu bukan artinya ia tak serius, tapi rasa – rasanya 6 bulan bagi pemuda itu layaknya belum pantas bilang cinta.
Aranda terima hadiah kecil, isinya dua jepit rambut. Aranda juga manusia tak bisa munafik, ia terbiasa dihadiahi dengan segala hal yang dari segi materi sudah terlihat ‘wah’ sebab pergaulan kelas atas yang terbiasa sedari dulu. Aranda bahagia tapi tak bisa menampik di hatinya ada rasa kecewa. Sampai ia dapati pemuda itu ambil dua jepit, rapikan rambutnya kemudian memasangkannya.
“Sering dipakai ya, biar poni kamu nggak masuk ke mata. Aku sering kesal liat kamu selalu kucek – kucek mata karena poni kamu ini.”
Pemuda ini kalah soal materi, tapi hal sekecil ini yang diperhatikan, Aranda rasa ia terlalu tidak tahu diri jika merasa kecewa hanya karena dihadikan jepit rambut. Buat Aranda sadar, nggak semua di dunia soal meteri, ada beberapa yang dihitung pun mau materi sebanyak apapun nggak mampu menyainginya.
“Maaf ya nggak bisa kasih kamu hadiah besar, perihal kurangnya aku ini tolong dipahami. Tapi, kalo kamu mau, aku bisa jadi orang pertama yang kamu ajak nonton film horror walau aku nggak suka, aku bisa jadi orang yang meluk kamu waktu lagi marah dan badmood, ajak kamu keliling kota sama sepeda motor, kalo namanya hidup itu wajar ada pahit manisnya. Kalo…”
Aranda tak lagi mendengar lanjutan kalimat itu, sebab yang ia mampu dengar dan rasakan saat itu hanya isak tangisnya dan peluk hangat dari pemuda yang punya sedikit tapi beri Aranda segala yang ia bisa.
“Aranda, kalo nanti ditanya aku ini maunya sama kamu selamanya, tapi namanya nasib nggak melulu yang indah – indah.”
Kalo saja Aranda tahu ia akan ditinggalkan, Aranda akan membuat pemuda yang sudah buat ia jatuh sedalam – dalamnya itu juga hancur, sama terperosok dengan dirinya yang ditinggalkan dengan puing – puing raga yang tak lagi utuh. Dari banyaknya pilihan, kenapa harus mati sih? Memangnya pemuda itu tak mau bangun keluarga bahagia sama Aranda, dengar tangis bayi dan rumah yang penuh tawa dengan anak – anak. Aranda punya seribu visi dan misi, perihal ia dan Sanggara, kekasihnya. Tapi Aranda lupa, ia mencintai seorang pecundang kehidupan.
“Lo pecundang, Sanggara.”
Aranda beri tatapan dingin, menusuk pada mayat yang terbujur kaku di hadapannya, biru keunguan di lehernya tanda ia yang memilih. Aranda benci, sebab ia ditinggalkan tanpa alasan, tanpa aba – aba kalo pemuda pemilik hatinya itu ternyata tak sebahagia ia hidupnya.
“Aku benci kamu,”
Harusnya seutas doa, bukan kalimat makian. Tapi Aranda juga tak bisa bohonh perihal hati, ia masih jadi dirinya, masih jadi wanita mandiri yang apa – apanya tak butuh merepotkan orang lain. Tapi, Sanggara hadirkan satu buatnya susah lepas layaknya narkoba, hadirkan rumah dalam bentuk raga, yang nyata semu untuk Aranda harapkan jadi nyata.
Untuk Sanggara, hidup yang bahagia disana, sengsara dibumi cuma karena cinta cukup kita, berdua punya kisah, jadi manusia bodoh yang bilang akan sama – sama selamanya, nyata cuma wacana bercanda terlalu kita anggap mudah untuk direalisasikan. Kita ini boleh suka, jatuh cinta tapi jangan melebihi batas yang ada. Karena hidup nggak melulu soal rasa, masih ada keluarga, teman dan cita – cita, harus tau mana yang jadi pilihan mana yang prioritas.
Ari Hardianah Harahap--
Aranda patah, tapi semoga bukan dalam waktu yang lama, soalnya ia butuh bangkit, butuh hidup buat lihat dunia yang ingin ia susuri indahnya. Baik – baik ya semesta, soalnya Andara Cuma punya sepenggal hati lagi, kalo diambil Andra takut hilang simpati. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: