Bagian 5: “Instalansi Gawat Darurat”

Bagian 5: “Instalansi Gawat Darurat”

ilustrasi--

Raka memukul kepala belakang Arsena pelan, “Lebih sinting lo bego! Kalo ngomong otak lo jangan dibuang. Kalo Dokter Abi sampe denger gimana? Lo mau ngulang coas lagi tahun depan?!” Raka menarik Pipi Arsena geram, dimana – mana orang yang stress dan tidak nyaman dengan lingkungan baru itu cenderung semakin mengurus sebab berat badan yang turun drastis. Berbeda dengan Arsena yang semakin misuh tiap harinya, semakin berisi badannya. Pipi yang dulu tirus itu kini semakin berisi setiap harinya, Raka menjadi saksi bagaimana Arsena merubah bentuk tubuhnya itu terasa err…semakin seksi mungkin. Raka menggelengkan kepalanya kuat sebab pikirannya yang tiba – tiba terasa sangat tidak senonoh itu. Raka segera melepaskan tarikannya dari pipi Arsena, dan mendorong sahabatnya itu hingga Arsena tergeletak di lantai.

“Raka gila!! Lo kenapa sih? Sakit tau!” Kesal Arsena yang masih tergeletak di lantai, ia mengulurkan tangannya, meminta bantuan pada Raka yang ditatap Raka dengan wajah menyebalkan.

“Bangun sendiri lo, gede kok manja!” Ujar Raka meninggalkan Arsena dengan wajah tercengang, bahkan ekspresinya itu tidak dapat lagi digambarkan betapa ia heran dengan Raka yang akhir – akhir ini bertingkah sangat aneh, cenderung norak bahkan menurutnya. Seperti Raka yang tiba – tiba olahraga malam padahal Arsena sendiri dapat memastikan Raka itu orang yang jam malasnya di malam hari.

Arsena mengerucutkan bibirnya, ia kembali berdiri tegap, sebab tampak tidak etis sekali ia duduk di tengah Lorong rumah sakit yang terbilang cukup ramai karena tak jauh dari ruang IGD. Seandainya tidak dirumah sakit, Arsena tidak akan sungkan memaki Raka dengan makian yang paling kasar di bumi, hanya saja situasi dan kondisinya tidak memungkinkan saat ini untuk melakukannya.

Arsena tersenyum kepada beberapa perawat dan karyawan rumah sakit yang dikenalnya, walau menyebalkan, Arsena wajib berterimakasih kepada Raka yang luar biasa pintar beradaptasi, lingkungan rumah sakit yang Arsena pikir akan dipenuhi banyak drama nyatanya jadi merasa sangat nyaman untukknya walau tertekan lebih mendominasi kehidupannya sebagai mahasiswa kedokteran semester akhir. Arsena berjalan pelan, lagi – lagi langkahnya kembali terhenti sebab satu lagi eksistensi manusia yang tidak pernah ia temui lagi sejak kejadian menyebalkan itu terjadi, Juandra.

Arsena bahkan tidak menyangka lucunya takdir yang menyatukan mereka. Juandra, Raka, Serena dan beberapa orang lagi yang menjadi satu tim coas secara kebetulan. Arsena cenderung menghabiskan waktunya bersama Raka, bahkan ia tak yakin mengenal rekan setimnya selain Raka dan Juandra yang ia kenal secara tidak sengaja, lagipula siapa yang tidak mengenal Juandra, pemuda itu bahkan tersohor di rumah sakit ini. Entah langkah apa yang membawa Arsena untuk berdiri di samping Juandra yang tengah menyaksikan sibuknya IGD dari pembatas kaca transparan. Mungkin sebuah ungkapan terimakasih  sebab Juandra menjabwa pertanyaan terkahir untuknya, sebut saja membantu walau tidak terkesan begitu, Arsena cukup menghargainya. Arsena berdiri di samping Juandra, turut diam, bertanya – tanya apa yang menarik dari ruangan yang identic dengan buat obat itu sehingga Juandra tahan untuk berdiri hingga tengah malam setiap harinya di tempat ini untuk menyaksikannya.

“kalo gue yang disana? Menurut lo siapa yang bakal berdiri di tempat gue saat ini?” Arsena mematung mendengar suara Juandra. Ia bahkan memastikan dengan melihat sekitarnya bahwa Juandra benar berbicara padanya. Presensi kehadirannya yang di-notice oleh Juandra menjadi sebuah keajaiban sebab Juandra yang bahkan sampai saat ini tak terlihat pernah berbicara selain menjawab setiap pertanyaan Dokter yang diajukan padanya.

“Lo ngomong sama gue?” Tanya Arsena menunjuk dirinya, menatap Juandra. Hening. Tidak ada sahutan sama sekali yang terdengar dari Juandra, Arsena menganggukan kepalanya, mungkin memang bukan dirinya. Arsena kembali diam, menatap aktivitas yang sudah seperti ekosistem didalam ruangan IGD itu. 

Code Blue! Code Blue! Code Blue!

Suara dari interkom rumah sakit yang mengaung keras tersebut menggema jelas, memantul di setiap dinding rumah sakit yang jelas dimaksudkan dalam pasien yang baru saja sampai di IGD, Arsena berseru panik, ia akan berlari. Namun, ditahan oleh Juandra. Kedunya yang paling dekat untuk membantu, lalu mengapa Juandra bersikap bodoh dengan menyia – nyiakan waktu.

“Emboli Paru, dia tiada, usaha kita percuma.” Tahan Juandra, andai saja keadaannya tidak darurat mungkin Arsena akan kembali melayangkan satu bogem mentah yang akan menghiasi wajah Juandra malam ini. Arsena menghempaskan genggaman Juandra, ia menatap Juandra dengan marah.


Ari Hardianah Harahap--

“Harapan ada buat kita bertahan, dan usaha ada buat kita hidup yang lebih layak dibanding mati karena meratapi.”  (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: