>

Bagian 3: “Selalu ‘Andai Aku Adalah Dia’”

Bagian 3: “Selalu ‘Andai Aku Adalah Dia’”

ilustrasi--

Arsena tertawa kecil, “Itu keterbatasan manusia, Wid. Mau dikasih sebanyak apapun, selebih apapun, yang namanya manusia nggak akan pernah berhenti buat ngebandingin diri, buat berandai – andai semisal gue yang jadi dia, gue pasti lebih bahagia, lebih cantik. Banyak lah pokoknya. Bahkan gue nggak lepas dari itu, kadang – kadang ada masa dimana gue tu iri liat lo sama Abian, walau gaya pacarana kalian itu aneh banget, gue sering mikir, apa kalo gue yang jadi Widia gue bakal dicintai sebanyak itu. Atau gue ngebayangin diri gue Abian, apa kalo gue jadi Abain gue bisa punya privilege yang buat apa – apanya itu tinggal minta. Banyak tau Wid.” Arsena menatap Juandra dengan senyum tipis, menikmati tiap gerak – gerik pemuda itu yang tertawa renyah dengan sang kasir, bahkan dari tempat Arsena saja, ia dapat dengan mudah tahu, wajah yang memerah di pihak wanita tandanya percakapan itu sedikit menggoda, sejatinya pria. Mau dikata se-greenflag apapun, Arsena percaya 15% dari tubuh mereka terdiri dari atom – atom Redflag khas pemuda zaman sekarang. Arsena menatap Widia sebentar, tersenyum lebar dengan deretan giginya, “tapi pada akhirnya gue itu Cuma Arsena putri!” Ujar Arsena bersemangat. Matanya menyipit sebab senyumnya yang semakin lebar. 

“Arsena putri yang bisa ngurus diri sendiri, Arsena putri yang kalo udah liat kaca sering merasa jadi miss Indonesia, yang kalo udah nyanyi di kamar mandi merasa paling bagus bahkan dari Ariana Grande. Yang kalo udah belajar, feel like enstein. Satu -satunya Arsena putri. Disaat gue berkhayal seandainya gue menjadi orang lain, itu udah ngehabisin banyak waktu, soalnya mau berharap sebanyak apapun gue berharap itu nggak akan masuk akal buat terjadi. Jadi alih – alih mikir gitu, gue bakal bilang ke diri gue sendiri, nggak semua orang bisa jadi gue, nggak semua orang bisa bertahan sama kehidupan yang gue jalani, nggak semua orang bisa kayak Arsena Putri. Dan hal itu buat gue sadar, kalo gue jadi mereka belum tentu gue juga bisa bertahan. Pada akhirnya, kita punya jalan juang masing – masing, yang kalo dibandingin kita cuma bakal nemu titik buntu, Wid. Karena standarnya juara kita beragam, kalo soal hidup.”

Di jelang hari menuju sore itu, tatapan Arsena bertemu sesaat dengan Juandra, sejenak ada sebuah rasa tak kasat mata antara keduanya, jauh yang tidak benar – benar jauh. Namun, alih – alih memikirkannya, kedunya masih manusia asing yang tak pernah bertemu, yang tak pernah beradu sapa, dan hari itu Arsena putuskan, pembicaraan Juandra antara dirinya Widia akan berkahir di depan kursi – kursi karatan Indomaret. Untuk seseorang yang bahkan tidak berkonstribusi 0,5 persen dalam hidupnya, Arsena tidak akan pusing - pusing untuk memberi ruang pada kepalanya yang bahkan sudah hampir overload muatannya.

“Lain kali jangan ajakin gue gibah kalo nggak mau gue ceramahin panjang – panjang.” Ingat Arsena pada Widia yang kini tengah bergelayut di tangannya dengan wajah berbinar.


Ari Hardianah Harahap--

“Kenapa? Lo juga merasa kan kalo kata – kata lo itu menampar, menendang dan menjungkir balikkan gue! cenat cenuh hati gue!” Ungkap Widia dengan wajah cemburut. Namun, tetap menyukai perkataan Arsena yang mau ditelisik bagaimanapun itulah kebenarannya. Arsena terseyum mengejek pada Widia. Namun, alih – alih seperti sebuah ceramahan panjang untuk Widia, bagi Arsena perkataannya tadi perihal ia yang membohongi diri, memberi kata penenang untuk hatinya, sebab diam – diam, dia juga iri pada orang – orang yang terlihat sangat mudah gapai pucuk bahagianya. (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: