>

Peron dan Langit Mendung Untuk Kirana

Peron dan Langit Mendung Untuk Kirana

Ari Hardianah Harahap--

Kirana tidak pernah menyukai hujan, sebab hujan selalu senantiasa membawanya sebuah kabar duka, walau tidak dipungkiri, hujan jugalah yang memberi Kirana hidup. Hari ini Senin, hari dimana untuk seorang manusia dewasa sepertinya terasa sangat melelahkan, tentang kota Jakarta yang akan kembali macet bahkan di pagi buta, tentang banyaknya deadline pekerjaanya di kantor, tentang apapun itu yang akan menguras energi jiwa dan raganya habis – habisan. Belum lagi, langit tampak gelap dengan awan hitam, bahkan disaat waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah delapan, matahari masih asyik bersembunyi di peraduannya. Tidak ada payung, dan jalanan yang akan basah nantinya, cukup membuat semangat Kirana turun menjadi 200%.

Kirana tidak menyukai peron, dan berisiknya suara kereta api. Atau dengingan rel dan kereta api yang bertubrukan di kala berhenti, Kirana benci segala sisi yang ada disekitarnya kini. Namun, diantara banyaknya pilihan, hari ini, Kirana mengambil langkah awal, untuk satu karcis yang kini tengah ada di genggamannya, Kirana berjalan mantap, menyusuri setiap peron hingga ia dapat duduk tenang di dalam kerata. Kereta tampak istimewa, sebab tidak seperti biasanya, hari ini bunga Anyelir dan Serunai dipasangkan di setiap sisi. Oh ya, Kirana lupa, hari ini harinya.

“Harusnya dalam setengah jam kedepan, kamu udah dikantor, bukan di sini lagi. Nanti kena surat peringatan satu loh, ay.”

Kirana menatap lurus kedepan, sosok itu kembali padanya, sosok yang amat ia rindukan eksistensinya, senyumnya masih selalu sama, setulus yang Kirana rasakan. Wajah tampannya tak sedikitpun berubah, masih sama eloknya. “Tapi aku pengennya sama kamu,” Ujar Kirana, matanya menumpuk cairan bening yang siap tumpah kapan saja, hanya ia tahan mati – matian agar sang empu yang diajak bicara tahu, bahwa manusia sepertinya, Kirana, adalah salah satu manusia paling tabah dan kuat yang pernah ada. “Kamu kenapa nggak pulang?” Tanya Kirana lagi. “Daga, pulang.” Kirana memelas pada sosok pria bernama Daga yang kini tertawa melihat Kirana terisak.

Kirana dapat merasakan rambutnya yang teracak, “Kok cewek aku jadi cengeng, buncisnya mana? Bunciss…” Canda Daga, sosok yang menjadi setengah jiwa Kirana, sosok yang menjadi tempat Kirana pulang, sosok yang Kirana sebut ia rumah, tempat paling nyaman dan aman yang pernah Kirana temui. Hari itu semerbak Anyelir dan Serunai memenuhi rongga Kirana, padahal wangi Wood lah yang ia harapkan, sebab pria yang seharusnya didepannya ini, sangat Kirana hafal kebiasaanya, parfum itu tidak akan pernah absen dipakai Daga, pria yang sudah empat tahun menjabat sebagai kekasihnya, belahan jiwanya.

Kirana memukul dadanya sesak, bulir air matanya kejar mengejar untuk terus jatuh, isakannya ia tahan dan ia redam sekuat mungkin. Namun, semua orang tahu, di bangku paling ujung peron kerata, tangis pilu itu tidak pernah absen setiap tahunnya, tangis tentang rindu, tangis tentang cinta, dan tangis tentang sebuah tunggu. “Pulang Ga, aku rindu. Rasanya berat sendirian, rasanya sepi.” Kirana memilu dengan wajah merahnya, wanita yang dijaga mati – matian oleh Daga agar tidak keluar air matanya, kini dihadapan Dagalah wanita itu menangis kencang, memohon dengan ibanya.

“Aku pulang Na, sabar ya sampai kita bisa sama – sama.”

Kalimat itu, kalimat yang tidak ingin Kirana dengar lagi. Kalimat yang semakin memperjelas betapa rancunya hidup Kirana kini, rasanya begitu hampa, namun Kirana juga tak bisa mengabaikan rasa tentang cinta yang masih menguasai  setengah hatinya. Sepi itu pasti ada, namun ada saat dimana Kirana merasa ia ramai dan ia tak sendiri, walau dengan hal sederhana, Kirana bahagia. Kirana ingin menyerah, namun semesta memberinya pilihan yang begitu berat, nikmat yang pasti dan hati yang di ujung tanduk. Kirana tidak pernah mau memilih, rasanya begitu linglung, semuanya layaknya abu – abu, tidak satupun yang mampu Kirana kontraskan menjadi warna hitam ataupun putih, Kirana bingung, tentang hatinya, tentang hidupnya.

“Daga….” Bisik Kirana pelan, “bahagia disana ya sayang,” Lanjut Kirana lagi, ia tatap dua cincin yang tersemat di jari manis kirinya, cincin yang harusnya dipasangkan oleh Daga dua tahun lalu, yang beraakhir ditangann Kirana keduanya. Daga menyukai tulip dan lili, biasanya akan Kirana bawakan tulip, akan ia harapkan nanti Daga-nya akan datang dengan tiba – tiba, menghampirinya dengan wajah yang teramat ceria, dan Kirana akan menerima peluk dan kecup rindu yang sudah sangat lama ia damba, namun semuanya kini hanyalah tentang asa, Daga tidak akan pernah kembali kepadanya, Daga pulang, jauh ketempat ia seharusnya kembali.

“Aku milih lili buat kamu, supaya kamu tahu diatas sana, kalo aku tahu aku sekarang harus bertahan sendirian. Tunggu aku ya sayang, sampai kita bisa sama – sama, teruntuk Daga tolong jangan buat kecewa wanita ini, sebab cintanya tak lagi ragu bahkan oleh semesta. Halte terakhir, pandangan terakhir, cukup dua tahun untuk duka yang senantiasa ada, cukup dua tahun untuk air mata yang tiada pernah habisanya. Kirana berdiri lemas, menatap sendu setiap sudut kereta ini, kereta yang sama merebut Daga darinya, dihari yang sama dan cuaca yang sama persis.

Hari itu Daga datang padaya, memeluknya dengan ceria, “Jangan nangis ya aku tinggal, ada atau nggak adanya aku, kamu harus selalu bahagia.” Setelahnya Kirana rasakan kecup di dahinya. Jika saja Kirana tahu, kereta hari itu akan membawa Daga pergi jauh darinya, Kirana tak akan pernah membiarkannya bahkan untuk melangkah.

Kirana terisak kencang, rasanya begitu lega, namun turut ia rasakan hampa yang juga sama dahsyatnya, tidak ada pelukan dimana ia butuh dulu langsung Daga siap sedih, mana Daga yang berjanji menemaninya. Kehilangan Daga ternyata tidak pernah semudah yang ia bayangkan, seperuh jiwanya meninggalkanya, Kirana tanpa Daga tak pernah menjadi ada, hari itu dibawah langit mendung, bersama isak dan caci nan pilu, Kirana terduduk bersama naasnya takdir miliknya.

“Daga pulang, cinta.” Bisik Kirana lirih, walau hanya untuk ia sendiri. Kirana – Kirana, cinta yang dahsyat akan membawa luka yang tak kalah hebat. Berbahagialah dan obatilah, Kirana. (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: