>

Bagian 4: “Urusan Hati Manusia Beranjak Dewasa”

Bagian 4: “Urusan Hati Manusia Beranjak Dewasa”

Ari Hardianah Harahap--

“Pulang sono lu! Jadi anak baek – baek lagi dah, pak ketu yang serba bisa, dan mahasiswa kebanggaan kita.” Usir Sundra sekali lagi. Sadap mendengus malas. Namun, tak urung ia menghidupkan motornya, memakai helm, berulang kali Sadap membunyikan motornya, tapi tak ada sedikitpun tanda – tanda bahwa teman seperjuangan Sundra itu akan pergi.

Sundra bersedekap, menyandarkan tubuhnya pada pagar rumahnya yang setengah terbuka. Sadap dengan tatapan kosong diatas kendaraanya, membuat tawa tercipta di wajah Sundra. “Dap, kita bukan siapa – siapa, memangnya gue siapanya sampe lo harus merasa bersalah?” Sundra menepuk pelan bahu temannya itu, Sundra itu manusia yang hatinya begitu lapang, ada seseorang dalam hidupnya yang terus mengingatkannya perihal sifat manusia.

“Sun, manusia itu ingin dipercaya, walau kamu ragu nantinya, nggak ada salahnya untuk percaya, memberi kesempatan yang sama pada setiap orang yang singgah di kehidupan kita. Baik dan jahatnya sikap mereka pada kita, pasti selalu punya alasan, ada yang alasannya mampu dijelaskan dengan kalimat dan kata, ada pula yang bahkan rasa itu ada namun tak seorangpun mengerti selain dia,”

Dan Sundra tidak punya hak untuk marah, juga memvalidasikan sebuah kebenaran mengenai hal yang kini tengah berkecamuk di benak Sadap. Sundra percaya, Sadap selalu punya alasan, sekalipun tidak, Sundra tidak berhak mengeluh, nyatanya ia juga manusia yang pasti suatu saat nanti, bisa jadi, berlaku sama, iya bukan?

***

Arisa menatap Sadap berang, ekspresi marah tampak jelas diwajahnya, kini seluruh wajahnya memerah, perasaan kesal, geram, bercampur aduk dalam dirinya. Sadap tidak banyak merespon, ia biarkan Arisa dengan kemarahannya dan ia dengan keterdiamannya. Pikiran Sadap kalut, hatinya resah, setiap saat ia ingin menjabarkan perasaat, setiap saat itu pula ia gagal, rasanya ia seolah melakukan hal yang sia – sia padahal saat ini, hal itu merupakan kebutuhan utamnya, menjadi seseorang yang terbuka dalam membagi sedikit lukanya.

“Lo childish banget tau nggak sih Dap, saat kayak gini lari ke gue. Bayangin kalo Sandra tahu, gimana perasaannya?!” Arisa berteriak frustasi di kursi teras rumahnya, rambutnya kusut sebab ia mengacaknya terlalu sering semenjak Sundra datang ke kosnya dengan sekotak kecil berbungkus pita yang tampak remuk.

“Apalagi masalah lo sih, Dap?! Berantem lagi sama Sandra?! Eyyo men ini bukan pertama kalinya kalian berantem, dan kenapa tiba – tiba kalian pengen pisah setelah tiga tahun?! Tiga tahun woi?! Apa nggak sia – sia?!” Arisa kembali berteriak frutasi, tidak paham dengan dua sejoli yang sering disebut sebagai pasangan primadona itu.

Sadap menatap nanar kotak kecil yang berbungkus kertas kado polkadot hitam putih dengan pita silver di sekilingnya, didalamnya ada kumpulan foto polaroidnya bersama Sandra selang tiga tahun terakhir, juga sebuah kalung yang sejak lama Sadap beli hanya untuk Sandra. Sadap tidak terlalu peduli pada hal – hal romantis, terutama bersusah payah seperti saat ini, karena Sadap sangat tidak suka jika direpotkan. Tapi, hanya demi Sandra, Sadap lakukan itu untuk perempuan yang menjadi kekasih hatinya.

Sadap tidak habis pikir, bayangan tentang peluk hangat dan tawa ceria milik Sandra yang ia dapatkan pupus saat Sadap melihat Sundra dengan mata berkaca – kacanya. Pertengkeran itu bukan pertengkaran pertama mereka, tapi itu menjadi pertama kalinya saat Sadap melihat luka perempuan yang ia kasihi sejelas itu. Mata Sandra mengatakan segalnya, bahwa perempuan itu telah lama terluka, lalunya selalu beriris dengan sakit.

“Sadap kamu punya aku, luka aku, bahagia aku, sedih aku, suka aku, duka aku, semuanya aku bagi sama kamu Sadap. Tapi sesulit itu kamu bagi pikiran kamu sedikit aja ke aku?! Kamu bisa bilang ke aku Sadap! Kamu bisa ngeluh ke aku, kalo hari ini kamu mumet sama tugas kamu, kalo hari ini kamu merasa capek, kamu bisa ngadu ke aku?!”

Sadap kembali memutar kilas balik memorinya dua jam lalu sebelum ia bersama Arisa. Sandra itu perempuan independent yang selalu bisa mengandalkan dirinya sendiri dalam berbagai bidang. Perempuan yang selalu kuat luar dalam, dan saat Sandra tersedu dengan air mata yang berlomba – lomba jatuh, Sadap sakit, tapi ia tak bisa bersuara. Ia biarkan Sandra mencacinya habis – habisnya, menghabiskan keluh yang tak pernah sampai hingga hari ini.

“Aku yang jadi rumah kamu, Sadap. Lalu, kenapa kamu harus selalu pulang ke Arisa?”

Lidah Sadap kelu, Arisa tidak pernah menjadi tempatnya pulang. Sandra satu – satunya. Satu – satunya tempat yang ingin Sadap ajak untuk berbagai hal, satu – satunya orang yang ingin Sadap ajak bersama setiap iringan langkahnya.

“Dap. Sandra pasti luluh kok, dia cuma salah paham. Lo pengen yang terbaik buat dia, tapi lo juga harus ingat, yang terbaik itu ada kalo terburuk pernah ada juga. Saat dia nerima lo, berarti dia siap dengan apa adanya diri lo.” Arisa menatap Sadap teduh, dirinya tersenyum sumir. Bisa – bisanya ia menjadi petuah cinta bahkan disaat kisah asmaranya sendiri terlalu porak poranda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: