Bagian 4: “Urusan Hati Manusia Beranjak Dewasa”

Bagian 4: “Urusan Hati Manusia Beranjak Dewasa”

Ari Hardianah Harahap--

“Berharap apa sih dari manusia yang beranjak dewasa, masih melangkah, belum sepenuhnya sudah. Wajar saja kalo tiba tiba ia bahagia, esoknya penuh luka. Masih masa – masanya mengenal dunia, jadi biarkan saja, pelan – pelan ia akan belajar dengan sendirinya, tidak semua bisa kita kendalikan sebagai manusia”

>>>***<<<

Sadap bukanlah orang yang penyabar, ia terbiasa dengan hidupnya yang terstruktur tanpa banyak perubahan sejak kecil, hasil didikan Mamanya yang memiliki sifat perfeksionis sejati, sempurna dalam segala hal. Sadap juga bukan orang yang terbiasa menunjukkan perasaan yang ia rasakan, Ia terbiasa menyembunyikan segalanya, rapat – rapat sendiran, berargumen dengan isi kepalanya sendiri dan memecahkan seluruh permasalahannya sendirian. Dari kecil, Sadap terbiasa dengan segala atensi orang – orang padanya, ia selalu menjadi tipe ideal seluruh orang, anak yang cerdas dan juga membanggakan, pacar yang baik dan pengertian, pemikiran orang – orang selalu membuatnya tidak habis pikir, sisi sempurna yang mereka idamkan, selalu menjadi sisi yang Sadap ingin buang jauh dari hidupnya.

Sadap tidak terlalu menyukai musik, kopi, dan asap rokok. Namun, malam ini ia biarkan dirinya ada dalam selimut asap rokok yang mengepul pekat, secangkir kopi pahit yang tak pernah ia sentuh setelah sekian tahun, dan suara musik galau yang berdentum keras. “Kenapa lagi lo? Berantem sama si Sandra?” Sundra mencebik kesal dengan gitar tua di pangkuannya, duduk berhadapan dengan wajah kusut Sadap di gazebo rumah kontrakannya. Padahal Sundra sudah bersiap menggalau ria, menyanyikan berbagai lagu patah hati dari beberapa Band terkenal Indonesia, mengais kembali rasa perih mengingat cinta bertepuk sebelah tangannya.

“Pasangan zaman sekarang tu aneh – aneh banget, udah dikasih biar bisa sama – sama bukannya disyukuri malah ribut mulu perasaan. Lo nggak bersyukur? Lebih nyesek mana euy sama gue yang cintanya nggak pernah dibalas, jangankan dibalas, dilirik aja enggak.” Sundra melemparkan kulit kacang rebus miliknya kearah Sadap.

Sadap menggedikkan bahunya tak peduli, “Not my problems,” Balas Sadap singkat, padat, nyelekit. Sundra yang mendengarnya menendang kaki Sadap turun dari gazebo. 

“Balik aja deh lo sono, kosan gue nggak nerima cowo yang nge-sok kayak lo!” Usir Sundra julid, Sadap memutar bola matanya malas, berdiri dari posisinya dan mengambil kunci motornya.

“Gue doain apes lo, biasanya doa orang – orang yang terdzolimi itu makbul, cepat dikabulin tuhan!” Kesal Sadap.

“Nggak open ceramah dari ustaz gadungan, yang ada juga manusia yang mendoakan manusia lain jelek, bakal lebih apes!” Balas Sundra tak mau kalah.

“Kok lo nyolot, laki bukan?!” Ujar Sadap dengan nada menjengkelkan, “Lapangan ajalah kita!” Sadap bersiap dengan kuda – kudanya, meninju angin kosong berkali – kali. Yang dengan senang hati Sundra kabulkan dengan tendangan mautnya.

“Bang—” Sundra segera membekap mulut Sadap dengan telapak tangannya, “Jaga imej pak ketu, yakali ngumpat gara – gara tendangan kecil doang itu!” Ujar Sundra enteng.

“Kecil pala lo peyang!” Ucap Sadap mengehempaskan telapak tangan Sundra, “Sialan tangan lo bau apa anjing?!” Sadap melepeh, yang dibalas kikikan oleh Sundra.

“Harum gini tangan gue, tadi habis cebok sih tapi gue udah cuci tangan pake sunlight!”

Sadap selalu bertanya – tanya, dosa apa yang ia lakukan dahulu kala sehingga bertemu orang serandom Sundra dalam hidupnya. Bertemu dengan sejenis manusia seperti Arisa saja sudah cukup mengejutkan bagi Sundra, dan tuhan memberikannya spesies lebih aneh seperti Sundra. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: