>

Bagian 3: “Susah Lupa, Namanya Juga Mantan Terindah”

Bagian 3: “Susah Lupa, Namanya Juga Mantan Terindah”

Ari Hardianah Harahap--

“Pak Botak Resign, katanya dia udah tau, mau main sama cucunya aja. Makanya itu grup dibaca, loh ngapain deh punya hape kalo nggak guna gitu.” Heran Sandra.

“Hape gue berguna, buat Mbanking misalnya.” Balas Riana acuh.

“Matre!” komentar Sandra.

“Kayaknya ada yang perlu gue bawain kaca segaban.” Sindir Riana kembali, Sandra hanya diam meniup jari – jemarinya. “Tapi gue tetap sedih pak botak resign, jarang dapat bos yang nggak pernah marah gitu, kalo apa – apa mengayomi banget…ah gamon gue sama pak botak.” Curhat Riana.

“Dikata lo aja, cuma pak botak yang pengertian sama gue. aish, kalo manegar baru ini nyebelin, gue santet beneren entar.” Diantara rekan kantor yang lain, hanya Riana dan Sandra yang benar – benar merasa kehilangan dengan resignya bos lama mereka. Walau bos mereka bekerja dengan sangat perfeksionis, bukan berarti ia tidak pernah memberi libur, bukan berarti belia hanya duduk berpangku dan menunggu seluruh laporan ditangannya dengan mudah. Riana memang dikenal sebagai medusa di divisinya, relasinya bertebaran dimana – mana, dengan begitu mudahnya orang – orang mengatakan bahwa Riana menggaet Pak Botak layaknya Medusa, hingga Pak Botak. Bos lama mereka mudah bersikap ramah pada Riana. Padahal dibalik itu, Riana pernah dimahari habis – habisan, sebab satu input angka salah mampu menghancurkan satu perusahaan, Riana pernah tak tidur sebab teros pesan dari Pak Botak tentang laporannya yang kejar tenggat. Tidak ada yang mudah dari apa yang Riana lewati, untuk sebuah pengakuan, ada banyak waktu dan tenaga yang Riana korbankan. 

Sama halnya dengan Sandra, dibalik nyetriknya gaya Sandra dengan make up tebal dan pakaian yang kadang terlihat minim, etos kerja Sandra tidak pernah diragukan, bahkan Sandra tidak pernah sungkan untuk mengingatkan Riana saat Riana mulai tidak fokus, karena satu kesalahan dari mereka, seluruh kehancuran yang akan ada. Dibanding Riana, Sandra sejatinya manusia yang hidup tanpa lelah, yang kecewanya tak pernah terdengar, oleh siapapun, lelahnya hanya untuknya. 

Rekan – rekan kerjanya mulai berkumpul, berbaris selayaknya mereka menyambut tamu seperti biasanya, formasi mereka berbentuk setengah lingkaran, kebetulan Riana menjadi pusat garis luar lingkaran. Karangan bunga sudah dipersiapkan, Riana tersenyum tipis, dia tidak seexcited itu untuk menyambut, hanya saja tuntutan pekerjaan selalu membuatnya tak punya pilihan. Dan begitu pula dengan hidupnya, kadang – kadang Riana merasa tuhan terlalu mempermainkan kehidupannya.

Riana lupa akan ia terkahir kali menyimpan wajah itu di memorinya, rambut dengan gaya potong yang selalu sama, lesung pipit di pipi kirinya, hingga aroma citrus yang masih seperti biasanya. Wajah itu masih sama tampangnya, kali ini garis rahangnya terlihat lebih tegas, matanya lebih tajam, masih dengan senyum yang sama manisnya. Diantara banyaknya kata sambutan yang biasa Riana lontarkan, satu – satunya yang mampu Riana sampaikan hanyalah “Mengapa harus dia?” dan dari banyaknya kata yang mampu Riana dengar di setiap jumpa pertemuan…

“Hai Mantan?” 

Mengapa harus Reno Aditama? (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: