Bagian 1: “Ragamnya Kita Itu Istimewa”

Bagian 1: “Ragamnya Kita Itu Istimewa”

Ari Hardianah Harahap--

“Riana bahagia Ma, selalu, tapi ada yang kurang…” Bisik Riana pada dirinya sendiri, “ternyata bahagia sendiri itu hampa ya Ma?” Dan volume musik menjadi satu – satunya yang mampu Riana kuatkan selain hatinya, untuk pagi biru yang terjadi tiba – tiba.

“NANA!!” Suara cempreng melingking tinggi menembus telinga Riana yang tengah menyalakan audio dengan volume paling tinggi.

“Lo kalo mau teriak tolong liat lingkungan sekitar napa?! Budeg sumpah orang – orang gara – gara suara lo!” Riana melepaskan earphonenya dan menatap sang empu yang tadi berteriak dengan gemas. Iya, gemas ingin menjitakkan dan menguburkan kepala perempuan itu jauh ke dalam tanah. Riana mendelik kesal, “Dan satu lagi, nama gue itu Riana, R-I-A-N-A. Bukan Nana!” Lanjut Riana dengan putaran bola mata malas serta dengusan nafas berat.

“Duh…! Si eneng jangan galak – galak dong, masih pagi juga, cepat keriput nanti.” Namanya, Sandra, Sandrana Sawera. Sesungguh – sungguhnya definisi manusia pelit nan medit yang pernah Riana temui, gaya boleh borjuis, tak kalah dari si kanal sebelah yang tiap harinya makan emas. Namun, kalo sudah ditanya kapan bayar kos, jawabnya masih sama, klise, ‘tunggu gajian, duit gue pas – pasan’. Setidaknya itu masih lebih baik dibanding, Budi Setiaman, si manusia hobi ngutang tapi nggak suka bayar hutang. 

“HELLOW GIRLS”

Riana tersenyum tipis dengan raut wajah nanar. Panjang umur sekali yang namanya Budi, bahkan belum ada seperkian detik Riana membatin tentangnya, dan dalam sejekap Budi sudah menghampirinya dengan lambaian tangan bak model catwalk di Paris Fashion Week. Untuk paginya yang sudah begitu suram, Riana merenung sesaat, sebesar apa dosanya dulu hingga dikehidupan kini Riana harus bertemu manusia setengah – setengah seperti Sandra dan Budi.

“Gue tahu nih isi otak si Nana, kalo nggak lagi ngumpatin kita pasti lagi mikir salah apa hidupnya dulu sampe ketemu manusia kayak kita.” Ujar Budi, dan Gotcha, tebakannya jitu tepat sasaran, dan Riana tidak berniat untuk menyangkal sama sekali.

“Dan sekarang gue juga baru sadar, kenapa ya ada manusia yang tau diri tapi nggak mau pergi, padahal sudah tau orang lain risih.” Riana dan kejujurannya adalah dua hal yang terlalu berbahaya untuk orang – orang di sekitarnya, tidak pernah ada filter, atau hambatan dari setiap kata yang meluncur diantara belah bibir Riana. Menurutnya, jujur dengan rasa sakit lebih baik, dibanding hidup hanya penuh dengan kata manis tanpa pasti. Dan dengan begitu, Sandra dan Budi juga tidak segan – segan untuk menyumpal mulut Riana dengan roti yang mereka bawa. Dengan membalikkan prinsip Riana, Budi dan Sandra menyepakati bertindak semaunya lebih baik dibanding menyimpan menjadi beban, dan pada dasarnya ketiganya tidak lebih baik satu sama lain.

“Memang ada perlunya si Nana di bawa ke ustadz salim, biar warasan dikit mulutnya, kalo ngomong sering nggak ngotak.” Komentar Sandra yang diangguki serius oleh Budi.

“Na, lo kurang beruntung apa lagi dalam hidup lo dapat temen – temen sepengertian kita, mau sampe nyelepet juga lo ulti kita nggak tersinggung sama sekali. Baik kan kita?” Budi berujar dramatis yang dibalas Riana dengan dengusan malas, dirinya tak bisa bicara sebab mulutnya yang masih penuh dengan roti milik Sandra.

Riana menelan roti milik Sandra dengan paksa, “Lo kalo ngasih ikhlasan dikit lain kali, setidaknya gue bisa makan dengan layak tapi tetap makasih.” Sungut Riana, dan kemudian dengan entengnya sebuah pukulan ia layangkan begitu saja dipunggung Budi dengan kuat, “Gue emang beruntung hidup sama kalian, mau gimanapun kalian nggak tersinggung sama sekali. Iya kan?” Riana bertanya dengan wajah tersenyum ceria yang kini tampak seperti psikopat berdarah dingin dimata Sandra dan Bumi. Keduanya kompak mengangguk dan meninggalkan Riana sendiri, berjalan mendahuluinya.

“Temen lo, emang nggak waras!” Bisik Budi pada Sandra menunjuk Riana.

“Temen gue, temen lo juga samsul!” Balas Sandra yang dibalas kekehan oleh Budi.

“Oh, iya juga ya,” Ingat Budi, “Soalnya gue sering lupa kalo si Nana manusia, sifatnya udah cocok jadi setan, medusa kan ya?”  Budi terkikik yang dibalas Sandra yang juga turut menahan tawa.

“GUE MASIH DENGAR KALO KALIAN LUPA!” teriak Riana yang segere membuat Sandra dan Budi melipir lebih dulu memasuki kantor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: