Bagian 3: “Remedi”
--
Seperti sekarang, di minggu pagi aku harus berangkat menuju kantornya, padahal aku bisa tidur hingga siang, beristirahat sejenak dari banyaknya tugas dan kegiatanku selama kuliah. Dering telponku kembali berbunyi dengan ID Caller ‘Kakak Cantik’. Aku memutar bola mataku malas, pasti Agasya sialan itu membajak ponselku kala aku tertidur.
“YAN, LO DIMANA?!” Teriakan cemprengnya menyambutku tepat saat diriku menggeser tombol hijau.
Aku menghela nafas pelanku, mengusap telingaku yang bisa jadi tuli karena setiap hari mendengar teriakannya, “Sabar, gue lagi di bus, lagian salah ceroboh!” Tepat setelahnya aku segera mematikan telponku, tanpa menunggu balasannya.
Setelah lima belas menit, aku akhirnya sampai di depan kantor Kak Agasya, kantor konsultat di kotaku, sejak aku mematikan telponnya darinya tak berhenti ponselku bordering dengan namanya yang terus tertera, dengan kesal aku mengangkat telponku, “Iya, ini juga udah sampe!” Kesalku. Tidak ada respon, dan dari pintu masuk, aku dapat melihat kakakku berlari kecil kearahku sambil mengepalkan tinjunya, wajahnya bersungut kesal namun tak kudapati ponsel padanya.
“lo lama banget gila, gue hampir dipecat kalo lo nggak tepar waktu!” kesal Kak Agasya, walau begitu aku masih diam, dengan ponsel yang masih ditelingaku. Kak Agasya mengambil laporan yang berada di tanganku dan pergi begitu saja. Aku menghela nafas pelan melihat kelakukannya.
“Halo?” Ucapku pada ponsel di telingaku, namun disaat melamun aku melihat Kak Agasaya kembali kearahku berlari kecil, mengecup pipiku, “makasih adek,” ucapnya kemudian kembali berlari masuk ke dalam kantornya. Kakak perempuanku itu memang menyebalkan, namun cara ia menyayangiku terlampau istimewa.
“Yo Dude! nggak rindu abang? jemput dong di bandara.”
***
Aku berlari kecil bersama mama ke bandara, mencari sosok laki – laki yang sangat sempurna menduplikat wajah mama, laki – laki yang menjadi lawan pertamaku, laki – laki pertama yang mengajariku untuk mengayunkan tinju pada orang yang melukaiku, Reno Abinara, anak pertama mama.
Aku mencari dengan gelisah, sejujurnya aku sedikit tidak percaya dengan telpon yang kuterima, karena tepat setelah mengatakan itu telpon tersebut terputus, namun, aku tak mungkin melupakan suara abang bajinganku itu. Lima menit aku tak mendapatipun sosoknya, begitupula dengan mama yang kini mengusap lenganku, tersenyum mengerti.
“Ayo pulang, adek rindu abang? Nanti kapan – kapan kita ketemu sama abang.” Mama tersenyum lembut menatapku, panggilan mama berubah, aku benar – benar berubah menjadi anak bungsu mama. Aku menatap mama, apakah aku melukai mama dengan memberikan mama harapan bahwa abang akan pulang?
“Maafin Sean,” Ujarku pelan, mama tertawa kecil lalu memelukku, “Ciee yang rindu abang,” Goda Mama menepuk punggungku pelan, aku tertawa mendengarnya. Namun, tiba – tiba seseorang turut memeluk kami berdua.
“Kurang Agasya aja nih, kalo nenek lampir tu ada udah lengkap banget kita kayak teletubbies,”
“ABANG!!”
***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: