Puluhan Tersangka Berkeliaran

Puluhan Tersangka Berkeliaran

Berdasarkan laporan kasus perkara PT DMP, penyidik Polda Jambi sudah melakukan berbagai tindakan dengan menyita barang bukti, memeriksa puluhan saksi mulai dari pihak perusahaan DMP hingga kepihak yang dianggap terkait atau mengetahui kasus ini dan menetapkan tersangkanya.

Kasus PT DMP ini menjadi perhatian pihak Komisi III DPR‑RI, yang beberapa waktu lalu turun ke Jambi untuk mendengarkan langsung pemaparan dari hasil penyidikan kepolisian dan kejaksaan terkait kasus izin operasional pabrik.

Perusahaan yang tidak mempunyai lahan perkebunan inti itu, diduga melakukan pencemaran lingkungan hingga adanya dugaan penggelapan pajak dan retribusi daerah yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Selanjutnya kasus dugaan korupsi di IAIN STS Jambi, dimana penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi. Meski nilainya besar, yakni Rp 110 Miliar, namun kasus ini tidak ada lagi dengungnya di Kejati. Pengamat hukum Provinsi Jambi Wajdi SH, yang saat ini juga menjadi pengacara beberapa perusahaan mengatakan, bahwa dalam kasus korupsi, proses penahanan sebenarnya bisa dilakukan oleh jaksa, karena jaksa punya dasar yang kuat.

“Kasus korupsi kan ancaman hukumannya lebih dari 4 tahun penjara, jadi itu bisa jadi dasar yang kuat untuk menahan tersangka,” ungkapnya.

Namun demikian, menurut Wajdi, biasanya, pertimbangan jaksa adalah kelengkapan berkas. “Karena ada batas waktu penahanan, yakni 60 hari kerja. Jadi kalau jaksa merasa berkas mereka belum lengkap, tentu mereka tidak berani melakukan penahanan. Karena kalau sudah 60 hari kerja, lalu tersangka lepas demi hukum, tentu profesionalisme jaksa akan dipertanyakan,” bebernya.

Sebagaimana diketahui, batas waktu penahanan adalah 40 hari kerja, lalu pihak penyidik bisa menambah 20 hari lagi jika perkara belum disidangkan.

Lalu saat ditanya terkait SP3 yang membayangi kasus-kasus korupsi di Jambi, Wajdi mengatakan, hal tersebut memang hak preogrativ pihak penyidik. Namun dengan adanya SP3, tentu ada hal yang perlu dipertanyakan dalam proses penanganan kasus tersebut, apalagi kasus korupsi.

“Seseorang ditetapkan sebagai tersangka itu setelah ada dua alat bukti atau lebih. Artinya, pihak penyidik sudah punya dua alat bukti  baru ditetapkan sebagai tersangka. Nah kalau kasus itu di SP3, tentu dipertanyakan profesionalisme jaksa yang menangani kasus tersebut. Mengapa dulu menetapkan tersangka, apakah tidak dengan pertimabangan yan matang ?,” terangnya.

Tidak hanya itu, penetapan tersangka terhadap seseorang memiliki dampak sosial yang besar. Sehingga,  jika hal itu dilakukan dengan sembarangan, tentu akan merugikan orang lain.

“Yang di SP3 kan itu bisa saja menuntut pihak Kejati, karena sudah dirugikan. Misalnya saja Hasvia, dengan ditetapkan sebagai tersangka, dia diberhentikan dari jabatannya sebagai kadis kehutanan. Tapi saat ini, setelah dipecat, pihak Kejaksaan menyatakan kasus itu tidak ada pelanggaran hukum,”tukas Wajdi.

Disisi lain, pengamat hukum Jambi, Prof Dr. Sukamto, selaku dosen senior Fakultas Hukum UNJA, bagian Hukum Pemerintahan, ketika dimintai komentarnya menilai, kasus Hasvia yang tengah menuai perhatian banyak publik ini sejatinya layak di SP3-kan.

Pasalnya, dirinya mengaku telah melihat SK dari BPK tentang pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh Hasvia, yakni pada April 2012, Hasvia telah lunas mengembalikan kerugian negara dengan cara  diangsur.

“Saya lihat SKnya yang dikeluarkan BPK, pada bulan April kerugian negara sudah dikembalikan lunas, berarti jika sudah dikembalikan, tidak ada lagi kerugian negara, sementara penetapan tersangka terhadap Hasvia pada Bulan Mei 2012,” akunya.

Ia mengatakan, terjadinya hal ini, karena Kejari Sungaipenuh belum mengetahui bahwa pengembalian kerugian negara ini telah dilakukan. “Tidak ada yang salah, Kejari tidak salah, hanya saja terlambat dalam menetapkan tersangka, dan tidak mengetahui bahwa pengembalian kerugian negara sudah dilakukan,” ujarnya lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: