Disambut Lagu Cucak Rowo serta Madu dan Racun
Janji untuk mendapatkan tanah untuk dikelola ternyata tidak terwujud. Mereka memang diberi lahan untuk digarap sebagai sawah atau lahan perkebunan. Namun, statusnya bukan hak milik. \"Kami diminta bekerja di sawah atau kebun tersebut,\" tambahnya.\"
Begitu panen, hasil sawah atau kebun tersebut langsung diminta pemerintah. Para Hua Qiao itu tidak hanya dipekerjakan di sana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka sangat bergantung kepada pemerintah. \"Kami diberi kupon untuk ditukarkan beras,\" kata Mei Tung mengenang.\"
Saat menuturkan kisah itu, terlihat sudut matanya basah. Satu bulan dia hanya mendapatkan dua kupon. Beras yang mereka dapat dari penukaran kupon tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. \"Kami biasanya mencampur dengan ubi,\" kenang lelaki yang hingga kini tidak mengetahui keberadaan istri dan anaknya itu.\"
Karena kondisi yang sengsara tersebut, tidak sedikit di antara Hua Qiao itu yang ingin kembali ke Indonesia. Namun, melakukannya secara legal jelas sangat sulit. Pemerintah Tiongkok waktu itu tentu akan mencegahnya.\"
Yang paling menyulitkan adalah mereka sudah tidak lagi memegang paspor Indonesia. Begitu datang, pemerintah langsung meminta paspor mereka. \"Kalau tidak mau memberikan paspor, kami tidak diberi makan,\" tutur Mei Tung.\"
Tidak sedikit yang kabur meski tidak memegang paspor. Risikonya tertangkap atau tewas di tengah perjalanan. Ada beberapa memang yang berhasil kembali ke Indonesia dengan cara seperti itu. \"Ada tiga teman saya yang berhasil kembali ke Indonesia lewat Makau,\" tambah Mei Tung.\"
Situasi berubah. Mulai awal 1990-an, perlakuan kepada para Hua Qiao itu semakin baik. Meski tetap harus mengelola lahan milik pemerintah, bayaran yang mereka terima terus meningkat. \"
Hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meski tidak sampai berlebihan. Pemerintah Tiongkok juga menyiapkan apartemen bersubsidi bagi mereka.\"
Perlahan, keinginan untuk kembali ke Indonesia mulai hilang. Meski kerinduan itu tetap saja ada. Keinginan mereka ke Indonesia sekadar untuk menjenguk tanah kelahiran. Bukan menetap sebagai warga negara.\"
A Tek berencana mengunjungi Indonesia tahun depan. Dia ingin melihat tanah kelahirannya di Bandung. \"Saya ingin melihat tempat masa kecil saya. Saya ingin melihat sekolah saya dulu,\" kata lelaki dua anak dan dua cucu tersebut.\"
Dia berencana menghabiskan waktu satu bulan di Indonesia. Selain ke tanah kelahirannya di Bandung, dia berencana mengunjungi beberapa kerabat yang masih tersisa di Indonesia yang tinggal di Cimahi.\"
Meski masih memiliki kerinduan kuat pada tanah kelahiran di Indonesia, A Tek, Mei Tung, dan Pak Tjia tidak lagi berkeinginan untuk kembali tinggal di Indonesia dengan menjadi warga negara Indonesia. \"Saya sudah tua. Mungkin kerabat-kerabat saya di Indonesia sudah tidak ada,\" kata Mei Tung.\"
Untuk melepas kerinduannya pada Indonesia, Mei Tung masih sering melantunkan lagu-lagu lama Indonesia. Dia masih hafal dan fasih menyanyikan lagu Teluk Bayur atau Burung Nuri. \"Saya juga menciptakan lagu tentang Indonesia,\" kata Mei Tung yang semasa di Indonesia mengaku menjadi penyanyi terkenal.\"
Dia menyatakan kerap diundang untuk menyanyi di Jakarta. \"Kalau saya menyanyi, semua penonton bertepuk tangan,\" akunya.\"
Kini, bagi para Hua Qiao asal Indonesia itu, cukuplah menjadikan lagu, makanan, dan segala pernik-pernik tentang Indonesia sebagai pelepas rindu akan tanah kelahiran. Yang memiliki cukup uang seperti A Tek boleh saja berkunjung, tetapi tidak untuk menetap. Situasinya sudah berbeda daripada ketika awal-awal mereka kembali ke tanah leluhur di Tiongkok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: