Disambut Lagu Cucak Rowo serta Madu dan Racun

 Disambut Lagu Cucak Rowo serta Madu dan Racun

  Sebuah restoran yang cukup besar berdiri di dekat ruko tadi. Rumah makan dengan dominasi warna merah itu diberi nama Rumah Makan Pulau Bali.\"

  Sebelum meninggalkan perkampungan tersebut, Jawa Pos singgah di restoran lain yang lokasinya berada di antara rumah-rumah warga. Menu yang disajikan memang khas Indonesia.\"

  Saat itu, Jawa Pos disuguhi menu kari ayam, gado-gado, dan pepes ikan. Rasanya sedikit berbeda. Kuah kari ayamnya begitu kental. Sementara itu, bumbu gado-gadonya masih sangat kasar sehingga lebih terasa seperti lontong pecel.\"

  Saat ini, Kampung Hua Qiao Xin Cun memang dijadikan salah satu objek wisata di Xiamen. Untuk itu, pemerintah Kota Xiamen membangun kampung tersebut. Menyiapkan infrastruktur, apartemen untuk para Hua Qiao, dan museum yang mengisahkan perjalanan mereka hingga sampai kembali ke Tiongkok.\"

  Tampaknya, museum itulah yang menjadi pusat dan daya tarik utama objek wisata Kampung Hua Qiao Xin Cun. Koleksinya berupa benda-benda yang bisa menceritakan saat-saat awal kedatangan mereka kembali ke tanah leluhur di Tiongkok.\"

  Di salah satu ruangan terlihat koper-koper kuno berbahan kulit keras atau kayu. Juga ada dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas para Hua Qiao saat masih di perantauan. Misalnya, akta kelahiran yang diterbitkan di Indonesia.\"

  Benda-benda berbau Indonesia dan nuansa-nuansa keindonesiaan yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk kerinduan mereka pada tanah kelahiran. Itu bisa dimaklumi karena hampir seluruh Hua Qiao yang kini tinggal di kampung tersebut lahir di Indonesia.

  Orang tua merekalah yang sejatinya Hua Qiao, warga negara Tiongkok yang merantau dan kemudian memutuskan kembali. Tentu saja dengan membawa keluarga, istri, dan anak-anak mereka.\"

  Salah seorang di antaranya Mei Tung. Lelaki berusia 70 tahun tersebut mengaku lahir di Purbalingga, Jawa Tengah. Dia datang ke Tiongkok atas ajakan orang tuanya pada 1961. \"Saat itu saya berusia 19 tahun,\" katanya.\"

  Mei Tung menuturkan, orang tuanya memutuskan untuk kembali ke Tiongkok atas seruan pemerintah Tiongkok. Lewat surat kabar-surat kabar dan radio, orang tua Mei Tung mengetahui bahwa pemerintah Tiongkok meminta para Hua Qiao yang sedang merantau di negara mana pun untuk kembali dan mengabdi pada negeri.\"

  Pada 1949, terjadi perubahan besar di Tiongkok. Yang sebelumnya adalah negeri berpaham nasionalis menjadi negeri komunis sosialis dengan nama Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Berdalih untuk memajukan negeri, pemerintah RRT mengajak pulang para Hua Qiao di perantauan. \"Kami dijanjikan lahan untuk dikelola menjadi sawah atau kebun,\" tutur Mei Tung.\"

  Versi lain menyebutkan, para Hua Qiao Indonesia memutuskan kembali ke tanah air karena kondisi di Indonesia membuat mereka tidak nyaman. Terbitnya PP 10 pada 1959 membatasi ruang gerak mereka, terutama dalam hal ekonomi. \"Kami hanya boleh membuka usaha di kota/kabupaten. Tidak boleh sampai ke kecamatan-kecamatan atau desa,\" tutur Pak Tjia, Hua Qiao yang lahir di Makassar.\"

  Apa pun versinya, terjadi gelombang kepulangan para Hua Qiao dari Indonesia ke Tiongkok. Sebagian besar Hua Qiao yang kini menetap di perkampungan tersebut datang pada gelombang pertama, 1961.\"

  Selain dari Indonesia \"yang mendominasi\", para Hua Qiao itu datang dari tujuh negara lain di Asia Tenggara. Yakni, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.\"

  Mei Tung menuturkan, awal-awal kedatangan mereka kembali ke Tiongkok sungguh tidak menyenangkan. Menurut dia, kondisinya lebih buruk daripada di Indonesia. \"Kami merasa dibohongi,\" kata lelaki berkacamata tebal itu.\"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: