>

Sepak Bola dan Gairah Persatuan

Sepak Bola dan Gairah Persatuan

O l e h

JUWITA HAYYUNING PRASTIWI*

SEPAK bola berkali-kali berhasil membangkitkan perasaan kolektif sebuah bangsa. Berbagai peristiwa telah mewarnai olahraga yang paling digemari di planet bumi ini. Lihat saja pada 1990 ketika Red Star berhadapan dengan Partizan di lanjutan Liga Yugoslavia. Pertandingan tersebut membuahkan kericuhan. Polisi Serbia pun memukuli suporter secara semena-mena. Di tengah keributan, seorang pemain melayangkan tendangan ke arah aparat. Pemain itu tak lain bernama Zvonimir Boban, yang kelak menjadi gelandang hebat bagi AC Milan. Apa yang dilakukan Boban tersebut kemudian dikenang sebagai pemantik

keberanian bangsa Kroasia menghadapi tindasan bangsa Serbia.

Sepak bola tak jarang juga mampu menumbuhkan semangat solidaritas dan kemanusiaan. Pada penutup Liga Skotlandia musim lalu, sekitar 60.000 supoter Celtic merayakan keberhasilan timnya meraih juara liga. Selama beberapa menit, bendera Palestina berkibar di salah satu sudut stadion. Diikuti munculnya banner bertulisan, ”Dignity is More Precious than Food”. Itu adalah pernyataan dukungan para suporter kepada para pelaku mogokmakan Palestina di penjara Israel. Di Indonesia, sepak bola juga bukan semata olahraga biasa. Ia merupakan hajatan yang melibatkan segenap partisipasi dan emosi. Permainan ini demikian mengakar dalam keseharian dan kebudayaan penduduk di tanah air.

Dari tontonan liga-liga Eropa di televisi hingga pertandingan tarkam, hampir pasti selalu memancing keriuhan. Maka, ketika Piala AFF kembali digelar, asa jutaan penduduk negeri ini kembali bermekaran. Kebanggaan terhadap tim nasional tak pernah pudar di benak rakyat Indonesia. Kecintaan yang demikian dalam itu tidak kunjung menguap walau gelombang pasang kekisruhan menerpa sepak bola nasional.

Sungguh menyedihkan, pada dua tahun terakhir ini publik sepak bola dipertontonkan pertikaian panjang yang hampir tak berhubungan dengan sepak bola. Perebutan kekuasaan menjadi tema yang jauh lebih dominan dibandingkan pertandingan sepak bola itu sendiri.

Saling serang pernyataan dan bantahan menjadi lebih nyaring terdengar dibandingkan kisah kehebatan pesepak bola kita. Kosakata ”statuta”, ”KLB”, ”sanksi FIFA”, dan ”joint committe” tiba tiba menjadi lebih penting di antara semua istilah permainan sepak bola. Perseteruan antara PSSI dan KPSI telah menodai nilai-nilai olahraga yang dikenal menjunjung kejujuran dan sportivitas. Perseteruan ini telah menyandera hari depan sepak bola nasional, sebuah permainan yang demikian dicintai rakyat.

Letih Lihat PSSI v KPSI

Perseteruan antara PSSI dan KPSI tidak hanya meletihkan untuk disimak, namun juga telah menciptakan penghalang besar. Pemain-pemain dari dua liga yang berbeda tak lagi bisa bersatu. Tak lagi bisa berkeringat bersama demi membela negerinya. Kita tak lagi berkesempatan menyaksikan Andik Vermansyah bahu-membahu dengan Patrick Wanggai. Publik juga tak lagi diizinkan menyaksikan bagaimana Irfan Badhim –yang berlaga di IPL– memeluk M. Ridwan, pemain ISL, saat merayakan gol kemenangan. Politisasi sepak bola Indonesia telah memaksa kita menyaksikan alur kebencian dan konflik otoritas yang melahirkan politik divide et impera.

Djohar Arifin dan La Nyala Mataliti memang masih dan sedang terus berseteru. Namun, publik tentu sangat yakin, tak ada kebencian yang ikut tumbuh di antara para pemain. Elie Aiboy, Firman Utina, serta pemain lainnya berlari di lapangan hijau atas dasar kecintaan pada sepak bola. Kecintaan itu yang menggerakkan otot dan napas mereka untuk terus berusaha mempersembahkan kebanggaan kepada rakyat Indonesia. Rasa cinta dan kehendak memberikan kebanggan inilah yang tampaknya telah lenyap tak berbekas dalam tubuh PSSI maupun KPSI.

Sepak bola memberikan sebuah visi yang tak lagi bisa diberikan oleh petinggi republik ini. Sepak bola berhasil menginstalasi ulang kecintaan banyak orang terhadap tanah airnya. Sepak bola pula yang mempertontonkan betapa persatuan bisa digalang dengan demikian jujur. Saat tim nasional berlaga, tak akan muncul pertanyaan apakah kita Jawa, Batak, Banjar, Bugis, Papua, pendatang atau penduduk asli. Tidak pernah ada yang mempersoalkan Christian Gonzales adalah seorang mualaf atau Titus Bonay yang penganut Katolik taat. Sepak bola sanggup menyuburkan harapan penduduk negeri ini di tengah pesimisme akan janji-janji perubahan para politikus. Rakyat bisa demikian sabar menanti. Menunggu gelar yang terakhir kali bisa diraih lebih dua dekade silam.

Memaki, tapi Cinta

Rakyat memang terkadang kecewa, tak jarang memaki dan marah, tetapi mereka tak pernah sungguh-sungguh kehilangan rasa cintanya kepada tim nasional. Sepak bola dengan gemilang berhasil memberikan gambaran perihal daya tahan dan kepercayaan. Sepak bola pula yang dalam momen tertentu telah berusaha memulihkan martabat kita sebagai sebuah bangsa. Belum hilang di ingatan, final AFF Cup dua tahun silam. Setelah ditekuk Malaysia di Kuala Lumpur, pasukan Merah Putih tak berubah menjadi penakut. Firman Utina dkk dengan gagah berani melawan negeri jiran itu di GBK. Kita membalasnya, mengalahkan mereka, meski itu tak cukup untuk meraih piala. Di akhir laga, penonton yang menyesaki stadion tetap bertepuk tangan dan memekik penuh semangat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: