>

Pilwako Jambi 2013 Hanya Sebatas Demokrasi Prosedural?

Pilwako Jambi 2013 Hanya Sebatas Demokrasi Prosedural?

Oleh: Nani Efendi

Di 2013 ini, Kota Jambi akan melaksanakan Pemilihan Wali Kota (Pilwako) secara langsung. Masyarakat Kota Jambi tentunya berharap mekanisme demokrasi yang bernama Pilwako ini bisa menjadi jalan atau cara menuju perubahan dan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaannya, benarkah pilwako secara langsung dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat? Memang, pasca reformasi 1998, banyak perubahan fundamental terjadi pada kehidupan bernegara di Indonesia. Dulu, gubernur, bupati, dan walikota tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi melalui mekanisme yang dilaksanakan oleh DPRD. Tidak jarang, calon gubernur, bupati, dan walikota didrop dari pusat dengan cara-cara yang tidak demokratis.

Tetapi, pasca reformasi 1998, bupati, gubernur, dan walikota dipilih secara langsung melalui mekanisme demokrasi yang bernama pilkada langsung/pilwako. Tujuan dari itu semua tentunya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ekspektasi rakyat akan kesejahteraan melalui mekanisme pilkada langsung ini cukup besar. Pertanyaannya sekarang, sudahkah sistem yang kita praktekkan itu membawa kesejahteraan bagi rakyat, khususnya di daerah-daerah yang ada di Indonesia? Dan, tentunya, pertanyaan yang paling penting dalam tulisan ini, bisakah Pilwako Jambi 2013 menjadi cara menuju kesejahteraan masyarakat Kota Jambi secara umum atau hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan dan kepentingan politik pihak-pihak tertentu?

 

Dinasti Politik

 

Pengamat politik CSIS, J. Kristiadi, mengatakan, bahwa pilkada langsung yang kita jalankan sekarang ini telah menciptakan dinasti-dinasti politik. Hal ini dibuktikan di beberapa daerah, di mana jabatan-jabatan politis dipegang oleh keluarga-keluarga dekat dari mereka yang sedang berkuasa. Jadi, mereka-mereka yang tidak memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan, tidak dapat menikmati kue pembangunan yang ada di daerahnya. Tidak jarang juga terjadi kolaborasi antara elit daerah dengan kepala daerah yang berkuasa. Akhirnya, rakyat banyak tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya segelintir orang saja, yakni mereka-mereka yang dekat dengan “raja-raja kecil” di daerahnya.

Belum banyak terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dari sistem pilkada langsung yang kita laksanakan pasca tumbangnya Orde Baru. Yang banyak terjadi ialah tumbuh suburnya praktek-praktek KKN di daerah. Mulai dari proses rekrutmen CPNS sampai pelaksanaan proyek-proyek di daerah, seakan-akan semuanya sudah terkontaminasi dengan praktek-praktek KKN yang merugikan masyarakat luas. Banyaknya kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi sebagaimana yang diberitakan di media-media  massa, membuktikan hal ini.

Mengapa itu bisa terjadi? Untuk bisa maju dan terpilih menjadi kepala daerah—bupati, gubernur, atau walikota—di dalam sistem pilkada langsung yang kita praktekkan saat ini dibutuhkan cost  yang tidak sedikit. Milyaran uang dikeluarkan agar bisa terpilih menjadi kepala daerah. Mulai saat mencari partai pengusung yang diistilahkan dengan “perahu”, sang calon sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Belum lagi biaya-biaya operasional untuk tim pemenangan. Di samping itu, poster, spanduk, kalender, baju kaos, dan atribut-atribut kampanye  lainnya adalah hal-hal yang membutuhkan dana besar yang mesti dikeluarkan oleh calon yang akan berkompetisi.

Jika setiap calon kepala daerah sudah menghabiskan uang milyaran rupiah, apakah tidak mendorong ia untuk melakukan korupsi ketika ia telah menjabat? Bukankah dalam proses pencalonan itu banyak pihak yang memberikan sumbangan? Nah, mereka-mereka yang telah memberikan bantuan kepada calon-calon yang akan bertarung apakah tidak mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu? Pihak-pihak yang telah “berkeringat” dalam mensukseskan calon kepala daerah tentunya memiliki interest (kepentingan). Sebagaimana dikatakan, “No free lunch.” (tidak ada makan siang cuma-cuma). Nah, sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk membalas “jasa” dari tim suksesnya itulah yang terkadang membuat kepala daerah yang telah menjabat sulit untuk menghindarkan diri dari perilaku-perilaku KKN. Dari mana ia memperoleh uang untuk mengembalikan modalnya dalam pencalonan itu? Padahal, gaji yang diterima kepala daerah tidak sebanding besarannya dengan dana yang dikeluarkan dalam pencalonan. Oleh karena itulah, kepala daerah yang terpilih hanya mudah didekati oleh mereka-mereka yang telah “berjasa” dalam mensukseskannya. Hanya orang-orang yang telah “berkorban” banyak yang bisa mendapatkan akses yang mudah kepada calon terpilih. Hanya orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaanlah yang mudah mendapatkan hak-haknya. Bagaimana dengan rakyat banyak? Rakyat banyak hanya dimanfaatkan sewaktu kampanye dan pencalonan saja. Setelah pilkada selesai, mereka hanya menjadi penonton belaka dari permainan-permainan elit-elit politik di daerah.

Demokrasi Substansial

Nah, mengapa rakyat belum memperoleh kesejahteraan dari sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia saat ini? Karena, demokrasi yang kita praktekkan saat ini baru sebatas demokrasi prosedural, yang berbentuk pemilihan umum, pilpres, dan pilkada/pilwako langsung yang kita laksanakan setiap 5 tahun sekali. Sistem itu hanya sebatas prosedur formal agar seseorang bisa menjadi pemimpin secara legal. Kita belum melaksanakan demokrasi substansial. Padahal, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tidak hanya demokrasi prosedural yang diterapkan, tetapi bagaimana menjalankan demokrasi substansial dalam segala sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Demokrasi substansial itu ialah proses demokrasi di mana seluruh rakyat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam setiap pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka. Hak-hak bersuara, hak menyatakan pendapat, pemikiran, perasaan dan sebagainya dapat diakomodir dalam setiap sektor kehidupan, mulai dari tingkat yang paling kecil seperti di tingkat desa sampai ke tingkat yang lebih besar, yakni Negara. Semua orang bebas berekspresi dan beraspirasi tanpa mendapat ancaman, hambatan, maupun  tekanan dari pihak-pihak manapun.

Semua orang bebas melakukan sesuatu untuk mewujudkan kesejahteraan mereka, tentunya dalam koridor-koridor hukum yang benar, adil dan manusiawi. Semua orang dapat mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya. Akses manusia untuk mengembangkan hidupnya harus diberikan secara luas. Setiap orang harus diberikan akses yang luas terhadap politik, sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya agar mereka bisa mengembangkan hidup dan kehidupan mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: