Oleh: Sayuti Hamsi

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati tiap 20 Mei, sesungguhnya adalah hari berdirinya Boedi Oetomo, satu perkumpulan sosial yang digagas Wahidin Sudirohusodo dan pendiriannya diprakarsai Soetomo pada 20 Mei 1908 dengan basis kekuatan kaum pelajar STOVIA.

STOVIA adalah School tot Opleiding van Indische Artsen, sekolah dokter buat pribumi di Batavia yang dibangunkan Belanda sebagai pembuktian pada dunia kalau politik etis di Hindia-Belanda juga dijalankan Multatuli.  

Untuk tidak dicurigai Belanda, Boedi Oetomo awalnya berdiri dengan jubah sosial, budaya dan ekonomi, tapi baju dalamnya berkaos politik, sebab orientasi gerakannya juga bersentuhan dengan jargon politik sebagai respon kegelisahan atas kondisi rakyat yang terpasung perbudakan akibat kebodohan dan kemiskinan. Generasi inilah angkatan perintis jalan menuju impian merdeka,

20 tahun Boedi Oetomo bergerak sembunyi dalam lingkar terbatas dengan menabur benih anti penjajah dan mengimpus jiwa rakyat dengan nasionalisme, hasilnya tertuai ketika pemuda nusantara menyatu ikrar dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Generasi inilah angkatan pendobrak lahirnya Indonesia, karena sejak sumpah diucap sebagai tekad batin, pemuda bergerak terbuka melakukan kampanye nasionalisme, dan selama 17 tahun bertegangan dan perang versus penjajah, hingga lahir angkatan kemerdekaan yang mewujudkan Indonesia merdeka 17 Agus 1945.

 

Hakikat Kebangkitan Nasional  

Abad 15, nasionalisme di Barat mulai bangkit ketika bangsa Timur atau Asia dan Afrika masih hanyut berselimut faodal, namun ketika tancapan kuku dan isapan darah kolonial makin dalam awal abad 19, dan banyak raja lokal dengan darah birunya berkolusi upeti dengan penjajah yang bermata biru. Kolusi ini membuat rakyat makin menjerit dan menyesali nasib, hingga tumbuh gerakan nasionalisme sebagai upaya perubahan nasib.

Ubah nasib untuk kehidupan lebih baik, memang bermula dari impian (niat, visi), direspon dengan perjuangan (ikhtiar, action), dan diiringi doa (harapan, optimis). Sebab perubahan sistemik tidak datang dari langit kecuali orang di bumi sendiri yang merubahnya (QS, Ar-Ra”du: 11), baik sebagai hamba-Nya (QS, Az-Zariyat : 56), terlebih sebagai khalifah-Nya di bumi (QS, al-Baqarah: 30)

Sebagai gerakan ubah nasib, kebangkitan nasional adalah gagasan progresif anak bangsa yang rindu akan tegaknya nilai kemanusiaan (humanity) dan keadaban (civility). Cermin bangsa demikian, hanyalah bangsa yang tahu menghargai sejarah, idiologi, orientasi, dan sikap. Sebab bangsa acuh sejarah akan miskin adab, mudah tergilas zaman dan terabrasi identitas, dan hanya penerima limbah budaya asing.

Kata el-Fadel (2001), peradaban bangsa tidak terbangun di atas kenyamanan melainkan dibangun di atas derita syuhada yang dulu komit berjuang membebaskan rakyat dari himpitan kesulitan, dan syuhada, kata Ali Syari”ati (1992) adalah kaum yang berpikir (rausyan fikr) yang nalarnya tercurah buat pencerahan anak cucu agar lepas dari lingkar kejumudan.

Dalam konteks pergulatan pemikiran Islam Indonesia, nasionalisme yang tumbuh alami selain karena kegelisahan akibat perbudakan, juga disuport oleh ruh Islam yang duluan hidup dalam sanubari rakyat, sehingga keduanya berperan besar meneguhkan tekad untuk perang berdarah lawan penjajah yang dipersepsikan sebagai kuffar. Disinilah, islamisme dan nasionalisme bersinergi kuat melumat tiki-taka penjajah.

 Berbeda dengan sebagian negara di Timur Tengah ketika nasionalisme masuk negara, mengundang pro kontra yang melahirkan gulat pemikiran dan adu nash antara menerima dan menolak, sehingga muncul telaah perihal nasionalisme dan Islam. Pergulatan inilah yang kemudian melahirkan mujadid yang mewarnai mimbar sejarah aliran modern dalam Islam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: