Konsisten Jaga Mutu dan Bikin Pertunjukan Eksperimental

 Konsisten Jaga Mutu dan Bikin Pertunjukan Eksperimental

 Waktu Batu#3 (2004) yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin pernah dipentaskan di Singapura, Berlin (Jerman), dan Morishita Studio Jepang. Karya lainnya, Je.ja.l.an (2008) juga pernah manggung di Negeri Sakura. Tentu saja setelah dipentaskan di tanah kelahirannya (Jogjakarta) dan Jakarta untuk memantangkan.

 Hingga kini, sedikitnya sudah sembilan lakon Teater Garasi yang pernah \"mengguncang\" dunia teater tanah air. Selain tiga lakon Waktu Batu (2001\"2004), Garasi sukses mementaskan Endgame karya Samuel Beckett (1998 dan 2013), Repertoir Hujan (2000), Mnem(a)syne (2006), J. e.ja.l.an (2008), Tubuh Ketiga (2010), serta Goyang Penasaran (2011\"2012).

 \"Itu tidak termasuk lakon-lakon yang kami bawakan semasih menjadi teater kampus, lho,\" ujarnya.

 Menurut Kusworo, Teater Garasi tidak mengikuti pakem aliran tertentu. Mereka mempertontonkan seni teater dalam berbagai bentuk sesuai dengan tema garapan yang diusung.

 \"Kami membuat naskah, baru menentukan aliran mana yang akan digunakan untuk mementaskan naskah tersebut,\" terangnya.

 Pijakan bermain Teater Garasi itu berbeda dengan kebanyakan kelompok teater pada umumnya yang menetapkan aliran yang dipakai, baru mencari lakon yang cocok. Cara pentas yang tidak fokus pada pakem tertentu seperti Teater Garasi itulah yang membuat kelompok tersebut mendapat perhatian dari kalangan pencinta seni pertunjukan. Penonton tidak akan pernah tahu cara pendekatan apa yang akan ditampilkan Garasi untuk setiap lakon hingga pertunjukan dimulai.

 Kusworo masih ingat, kali pertama Teater Garasi pentas pada 1995 di Gedung Purna Budaya, Bulaksumur. Kala itu, penonton langsung membeludak. Gedung berkapasitas 600 orang penuh sesak.

 Sejak itu, hampir setiap pertunjukan Teater Garasi ditunggu penonton. Sebab, mereka selalu menciptakan model-model pementasan yang berbeda, eksperimental, dan fresh. Tidak jarang pergelaran mereka menimbulkan kontroversi dan perdebatan dalam wacana penciptaan karya.

 Sebagai kelompok teater yang konsisten pada filosofi pertunjukannya, Garasi telah melahirkan banyak seniman teater. Sayangnya, mereka \"lupa\" mendata siapa saja alumnus yang pernah berguru di laboratorium teater tersebut.

 \"Sebenarnya perlu juga ya kami data mereka yang pernah tumbuh di Teater Garasi,\" ucap Kusworo seraya merapatkan kedua tangan di belakang kepala.

 Teater Garasi membebaskan setiap anggotanya untuk berkreasi sendiri, membentuk kelompok-kelompok baru di bawahnya, dan mengembangkan kemampuannya. Tujuannya, membuat Teater Garasi menjadi milik bersama. Tidak menjadikan sosok tertentu sebagai ikon, seperti halnya Nano Riantiarno di Teater Koma, Putu Wijaya di Teater Mandiri, atau Butet Kartaredjasa di Teater Gandrik.

 Dengan begitu, nama Teater Garasi akan tetap ada meski nanti sudah tidak memiliki penggawa lagi. \"Tapi, saat mereka keluar, mereka jadi orang,\" ucapnya. Proses itu dimulai sejak 2007.

 Sejak awal 2013, mereka mencanangkan diri sebagai Garasi Performance Institut. Yaitu, inisiatif kolektif seniman Teater Garasi yang bertujuan menciptakan lingkungan kreatif yang berkelanjutan bagi seniman pertunjukan di Indonesia dan Asia. Tujuan itu diupayakan melalui penyelenggaraan program-program penyebaran dan pertukaran pengetahuan serta seniman tinggal.

 Menjelang ulang tahun ke-20, Teater Garasi mendapat kado istimewa. Mereka memperoleh Prince Klaus Awards, sebuah penghargaan yang diberikan Prince Klaus Fund, organisasi terkemuka yang bermarkas di Amsterdam yang mendedikasikan programnya pada kebudayaan dan pembangunan.

 Penghargaan itu diberikan atas kualitas kerja Teater Garasi yang prima dan sumbangsih yang signifikan terhadap pengembangan lingkungan. Bersama 10 individu dan organisasi lain dari berbagai belahan dunia, Teater Garasi akan menerima penghargaan tersebut pada akhir tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: