Semangat Sumpah Pemuda dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia tidak lagi berupa idea, melainkan telah menjelma menjadi konsep, karena telah memiliki batasan yang jelas. Konsep bangsa Indonesia menjadi aktual dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan merupakan saat lahirnya bangsa Indonesia secara aktual, juga karena peranan pemuda yang waktu itu bergabung dalam berbagai kelompok, seperti kelompok pelajar, kelompok Peta, kelompok mahasiswa maupun kelompok pemuda lainnya.
Kepelopran pemuda juga merupakan kekuatan yang menentukan dalam perjuangan mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia, terhadap rongrongan dari luar seperti pada periode Perang Kemerdekaan, dan rongrongan dari dalam seperti G 30 S/PKI tahun 1965.
Belajar Dari Sejarah Pahit Bangsa Indonesia
Selama 40 tahun (Orde Lama dan Orde Baru), bangsa Indonesia dipimpin secara otoriter. Secara tak langsung, tumbuh dalam diri kita sikap otoriter, yaitu merasa benar dan mau menang sendiri. Ketika Reformasi 1998 membuka ruang kebebasan, demokrasi, dan otonomi daerah, sifat otoriter itu muncul dalam berbagai bentuk.
Demokrasi dan desentralisasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat membuat masyarakat mudah saling curiga dan mudah bertikai. Multipartai tumbuh pesat, tetapi politik justru kehilangan ideologi dan idealisme. Perilaku politisi menjadi oportunis sehingga menyuburkan korupsi, sekaligus juga adventuristik (leluasa bertualang) yang membuat orang mudah berpindah partai.
Hampir semua kader partai politik menjadi petualang. Tidak ada bekal ideologi dan nilai-nilai kebangsaan diwariskan. Politik berhenti di politik kekuasaan. Politik sebagai sebuah kebijakan untuk mendistribusikan kesejahteraan tidak dijalankan. Yang dipertontonkan adalah politik tidak etis, yang biasa kita lihat di bincang-bincang televisi. Kebebasan berkembang tanpa komitmen etika, politik hampa etika.
Dalam situasi begini etika individu memang penting ditekankan, tetapi tidak dapat menembus budaya politik yang cenderung koruptif. Pemerintah dan DPR perlu memikirkan perubahan struktur politik.
Pematangan substansi demokrasi justru berhenti. Situasi kian parah karena presiden sebagai pemimpin tertinggi lemah dan serba ragu dalam semua hal sehingga menciptakan ketidakpastian. Kita akhirnya mengalami proses anomi, yaitu kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai moralitas. Orang kehilangan batas-batas baik-buruk atau salah-benar. Ini memicu perilaku menyimpang dan konflik di masyarakat.
Ketiadaan kepemimpinan tegas untuk mengatur dan mengelola bangsa yang multikultur memang menjadi salah satu penyebab berbagai persoalan bangsa seperti ini. Peran pemimpin sedemikian penting mengingat bangsa Indonesia lebih bersifat paternalistik. Beragam persoalan sosial itu tidak terlepas dari pengaruh era informasi yang demikian bebas. Tidak ada lagi penjuru yang bisa digunakan untuk menyaring informasi sehingga masyarakat tidak memiliki acuan, mana yang benar dan mana yang tidak.
Kondisi bangsa saat ini terbentuk akibat sistem otoriter lebih dari tiga dekade. Hal itu diperparah oleh ketiadaan kepemimpinan yang memberi arah. Konsolidasi demokrasi juga belum terwujud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: