Telepon SBY Disadap, Dubes RI Ditarik

Telepon SBY Disadap, Dubes RI Ditarik

   Kemenkominfo menyatakan siap membantu Kemenlu dalam menyikapi tindakan penyadapan yang dilakukan Australia. ”Kami sejalan dengan Kementerian Luar Negeri, turut menyesalkan tindakan tersebut. Untuk langkah selanjutnya kami akan menunggu langkah-langkah berikutnya dari Kementerian Luar Negeri mengingat penanganan masalah tersebut leading sector-nya adalah Kementerian Luar Negeri,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Gatot S Dewa Broto, dalam keterangan resminya, kemarin.

     Pihaknya mengaku prihatin dan sangat kecewa selain berdasarkan aspek hubungan diplomatik, juga karena mengacu pada aspek hukum sebab tindakan penyadapan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

       Pasal 40 UU Telekomunikasi menyebutkan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Demikian pula Pasal 31 UU ITE menyebutkan ayat (1) bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan atau elektronik tertentu milik orang lain.

     Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan atau dokumen elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan dan atau penghentian informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.    

     ”Memang benar, bahwa dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat dimungkinkan untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itu pun berat persyaratannya dan harus izin pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada  Pasal 42 UU Telekomunikasi. Demikian pula kemungkinan penyadapan yang dibolehkan dengan syarat yang berat pula yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE,” paparnya.

     Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 47 UU ITE yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 800 juta. ”Memang benar, bahwa misi diplomatik asing dimungkinkan untuk memperoleh kekebalan diplomatik sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, seperti disebutkan pada Pasal 16. Tapi pemberian imunitas tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada,” tegasnya.

     Sehingga dalam hal ini, jika dugaan pelanggaran penyadapan oleh Australia melalui misi diplomatiknya telah dibuktikan, maka imunitas tersebut dapat dianggap bertentangan dengan UU yang berlaku. ”Kemenkominfo sejauh ini berpandangan bahwa kegiatan penyadapan tersebut belum terbukti dilakukan atas kerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Namun jika kemudian terbukti, maka penyeleggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana yang diatur daam UU Tekomunikasi dan UU ITE,” ucap Gatot.

         Gatot menyatakan kegiatan penyadapan oleh Australia tersebut sangat mengusik kedaulatan dan nasionalisme Indonesia. Namun demikian Kemenkominfo mengimbau agar kepada para hacker untuk tidak melakukan serangan balik kepada pihak Australia. Hal itu selain dapat berpotensi memperburuk situasi, tetapi juga justru berpotensi melanggar UU ITE.

      Di bagian lain, pengamat hubungan internasional Hikmahanto Djuwana menilai bahwa tindakan pemerintah memanggil Dubes RI di Australia sebagai reaksi penyadapan, belum cukup tegas. Dia menuturkan, tindakan tersebut harusnya dilakukan ketika isu penyadapan tersebut pertama kali muncul. “Belum tegas karena tindakan baru dilakukan saat ini. Padahal merebaknya masalah penyadapan sudah beberapa pekan,”tegas Hikmahanto.

     Saat muncul isu penyadapan atas Presiden RI dan Ibu Negara, pemerintah seharusnya memberikan reaksi yang cukup keras. Tidak sekedar memberikan ultimatum agar tindakan penyadapan tersebut tidak dilakukan lagi, melainkan melakukan pengusiran terhadap diplomat Australia.

     “Dan juga diplomat AS. Dengan tindakan tegas ini Edward Snowden diharapkan tidak akan mempermainkan dan mempermalukan Indonesia dengan mengungkap sedikit semi sedikit dokumen yang dimilikinya ke media. Mengapa ketika seakrang muncul nama SBY dan Ibu Ani, pemerintah langsung reaktif, bukankan Indonesia milik rakyat Indonesia, bukan sekedar milik pak SBY dan ibu Ani,”imbuhnya. 

    Isu penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia terus berlanjut. Setelah isu penyadapan atas sejumlah pejabat tinggi Indonesia, dua media Australia, situs radio ABC dan koran Guardian mengklaim memperoleh dokumen mantan Kontraktor Badan Rahasia Nasional Amerika Serikat (NSA) Edward Snowden. Isi dokumen tersebut menyebutkan bahwa materi intelijen yang dibocorokan Snowden, mengungkap pemerintah Australia menyadap pembicaraan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhyono dan sejumlah pejabat Indonesia pada 2009. Diantaranya, Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wapres Boediono, Mantan Wapres Jusuf Kalla, Mantan Jubir Presiden SBY Dino Patti Djalal dan Andi Malarangeng, Mantan Menkeu Sri Mulyani, Mantan Mensesneg Hatta Radjasa, Mantan Menkopolhukam Widodo AS dan Mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil.

     Dalam dokumen tersebut, menunjukkan bahwa pihak intelijen Australia setidaknya pernah sekali menyadap pembicaraan telepon SBY.  Selain itu, pihak intelijen Australia juga melacak aktivitas telepon genggam SBY selama 15 hari pada Agustus 2009. Data tersebut berasal dari Agen Intelijen Elektronik Australia (Defence Signal Directorate sekarang berubah menjadi Australia Signals Directorate).

(ken/mia/gen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: