Menyoal Moral Wakil Tuhan
Wanita dalam Lingkaran Wakil Tuhan
Ketika kita berbicara korupsi, selalu saja dibalik kejahatan besar tersebut ada yang bernama wanita. Apakah hal itu, sebagai istri yang turut serta dalam korupsi atau pihak lain yang menjadikan seseorang melanggar etika dan moral. Lihat saja, Kasus dugaan korupsi yang juga menyeret sederet artis yang dikucurkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar. Artis dangdut yang diduga menerima dana dari tersangka korupsi sengketa Pemilu Kada Kota Tangerang itu diantaranya Iis Dahlia, Evie Tamala, Kristina dan Rya Fitria.
Meski tidak dan bahkan belum terbukti mereka terlibat di dalamnya, dan upaya pencucian uang oleh Akil Muchtar, tetap saja ada legitimasi jika wanita kerap berada disamping pelaku kejahatan pejabat dan negara termasuk hakim. Tak heran, keretakan rumah tangga, juga kewibawaan seorang hakim pun tergadai oleh seorang wanita yang menjadi selingkuhannya.
Memang tidaklah salah jika antara Harta, Tahta dan Wanita menjadi satu kesatuan teori baku kekuasaan dan juga kejahatan yang kerap menjadi sumber pelanggaran etika, moral dan hukum. Kebobrokan moral yang masih belum terpecahkan. Moral dalam dimensi kepribadian manusia memiliki pengaruh yang sangat besar untuk membentuk karakter dan kedewasaan berpikir di setiap dimensi kehidupan.
Penulis melihat di sini, wanita kerap menjadi kambing hitam kejahatan para pejabat, birokrat dan hakim korup. Atau sebaliknya, demi memuaskan hasrat keinginan wanita yang menjadi pendampingnya, seorang hakim rela mengorbankan kewibawaannya di mata hukum, di hadapan rakyat bahkan juga di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Yang jelas, moralitas wakil Tuhan yang kemudian sering kita sapa dengan sebutan Bapak Hakim Yang Mulia ini, telah memasuki fase degradasi moral yang akut. Mereka tidak lagi menjaga kewibawaannya di mata Tuhan, dia Justru merusak tatanan moralitasnya sebagai wakil Tuhan dibalik seragam, Meja dan Palu yang ia gunakan dalam sidang.
Inilah potret buram dan bobroknya moral, etika dan rasa kerprihatinan (sense of concern) para pejabat negeri ini. Hal inilah yang menyebabkan negeri ini semakin hari semakin terpuruk ke dalam comberan dekadensi moral yang menumbuhkan budaya korupsi yang akut dan ambruknya norma-norma kebenaran.
Bagaimana dengan Hakim Agama yang selingkuh ? Penulis ingin menyampaikan jika Cinta itu adalah Anugerah dari Tuhan Yang Maha Cinta. Yang mengindikasikan jika cinta itu tidak memandang strata kelas selama ia menjadi rahmat bagi diri yang diberi cinta oleh Allah swt, Tuhan YME. Namun, strata sosial selaku Hakim Agama yang memahami nilai-nilai syariah dan fiqh (baca : Fiqh Muamalah, Jinayah), menjadi sangat menohok di hadapan publik. Sebab, seorang yang menjadi tempat panutan dan pernah menjadikan seseorang sebagai pusat ilmu dan fatwa pada masa Islam awal, Hakim Agama telah menciderai nilai-nilai moralitas, dan etika keagamaan, serta budaya Islam yang rahmat.
Namun, maaf dan ampunan Allah swt, pasti selalu terbuka. Tulisan ini pula bukanlah wujud penghakiman publik terhadap hakim korup dan selingkuh. Namun, menjadi catatan kritis bagi kita. Jika moralitas bangsa Indonesia sudah berada dalam lubang terdalam amoral kehancuran, yang perlu dilakukan reformasi ruh, jiwa dan memaksa diri kembali kepada agama dan ajaran Tuhan. Wallahu a\"lam
Suwardi., adalah Wakil Direktur Forum for Studies of Islamic Thaught and Civilization. Anggota PELANTA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: