Menyoal Moral Wakil Tuhan

Menyoal Moral Wakil Tuhan

Oleh : Suwardi

Kualitas moral wakil Tuhan (baca : Hakim) kembali mencuat dalam sorotan publik. Sungguh sangat memprihatinkan ketika masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran etika dan moral dari insan-insan yang mewakili Tuhan dalam menegakkan hukum dan keadilan di muka bumi, yang semestinya menjunjung tinggi dan melindungi etika profesi, moralitas pergaulan, dan nilai-nilai keagamaan sebagai benteng tertinggi yang sulit ditembus oleh perilaku amoral.

 

Wakil Tuhan dalam Sorotan Publik

Moralitas, etika, keadilan, menjadi pesona dan daya pikat luar biasa bagi hakim selaku wakil Tuhan dalam vonis keadilan. Tiada lagi tempat untuk mencari petuah, meminta keadilan hukum dan pembimbing moral selain para hakim yang bijaksana lagi wibawa. Namun, kontekstualitas hari ini, pesona itu kian pudar seiring pelanggaran kode etik profesi dan pelanggaran mora­l-sosio-religi yang kerap dilakukan oleh mereka selaku pemilik kebijakan setengah Dewa.

Lihat saja catatan Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung telah memecat seorang hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Yogyakarta karena hakim itu meminta pengacara untuk menyediakan penari telanjang dan tiket pesawat.

Hakim yang menerima suap dari terpidana korupsi Pajak Gayus Tambunan, agar memberikan keringanan hukuman dan menghilangkan pasal-pasal yang memberatkan mafia pajak tersebut. Adapula Hakim yang melakukan pemererasan terhadap pihak yang sedang berperkara di pengadilan agar memberikan sejumlah uang kepadanya selaku hakim ketua.

Bahkan Hakim Pengadilan Agama pun harus mengikhlaskan diri dalam perselingkuhan. Sedangkan, seorang hakim di Pengadilan Syariah, Tapaktuan, Aceh dipecat karena berbuat cabul dengan pihak yang berperkara. Dua contoh kasus di atas, memang berada di wilayah moral privat, namun tetap saja bertentangan dengan etika profesi penegak hukum dalam menjalankan pemerintahan yang bersih dan jauh dari manipulasi maupun rekayasa perkara. Sedikit catatan, namun telah mampu merobohkan benteng keadilan tertinggi, dan menghancurkan integritas dan wibawa para Wakil Tuhan.

 

Pudarnya Pesona Hakim

Dalam kondisi kekinian,  moralitas, keadilan dan bahkan putusan dalam penegakan hukum kian semrawut, menyebabkan para pencari keadilan kehilangan legitimasi terhadap institusi peradilan, baik di tingkat penyidikan sampai tingkat pengadilan. Akhirnya keadilan substantif dalam legitimasi hukum dan keadilan laksana utopia.

Bila dilihat secara seksama, hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya didasari oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No 047/KMA/SKB/IV/2009. Di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terdapat 10 prinsip dasar: (1) berperilaku adil, (2) berperilaku jujur, (3) berprilaku arif dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung jawab, (7) menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap profesional.

Sangatlah jelas, seorang hakim yang sering disebut sebagai wakil Tuhan dalam perkara hukum dan keadilan di muka bumi memiliki landasan filosofis-etis yang sangat mengikat dan menjadi ideologi terhadap wibawa hakim di balik seragam kebesarannya. Namun, sangat disayangkan ketika poin-poin landasan tersebut goyah dan runtuh hanya karena materi dunia yang sedikit (baca : suap, korupsi) dan tidak sedikit pula hakim yang harus bertekuk lutut di bawah senyum wanita.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: