Makam Dijaga Ketat; Langgar Aturan, Nyawa Jadi Taruhan

  Makam Dijaga Ketat; Langgar Aturan, Nyawa Jadi Taruhan

Menelusuri Sisa Kejayaan Khun Sa, Bandar Opium Terbesar Myanmar

 Pandangan publik terhadap bandar narkoba tidak akan jauh berbeda dengan penjahat lainnya. Tapi, itu tidak berlaku untuk Khun Sa. Bandar opium yang paling kaya di Myanmar tersebut malah diagungkan bak seorang raja oleh pengikutnya.

NARENDRA PRASETYA-DIAR CANDRA, Yangon

SEPANJANG tiga dasawarsa silam, nama Khun Sa menjadi salah satu sosok paling terkenal di Burma, sebutan lama Myanmar. Dulu dia dikenal sebagai raja perdagangan opium di Myanmar, khususnya di kawasan Segi Tiga Emas. Selain itu, pada zamannya, Khun Sa pernah menjadi pemimpin Shan United Army dan Mong Tai Army.

 Jalur perdagangannya bukan hanya seantero Myanmar ataupun negara-negara di sekitarnya, terutama di kawasan Semenanjung Indochina seperti Thailand, Laos, Kamboja, atau Vietnam. Beberapa negara di luar Semenanjung Indochina, seperti Australia hingga Amerika Serikat (AS), pun pernah jadi jujukannya.

 Daerah Mae Hong Son di perbatasan Thailand dengan Myanmar menjadi kekuasaan Khun Sa. Kekuatannya sebagai bandar opium mulai terganggu begitu dia dituduh pengadilan New York, AS, mengimpor 1.000 ton heroin pada 1989.

 Khun Sa pun masuk dalam target buruan pemerintah AS. Sampai-sampai pengadilan Negeri Paman Sam itu mengeluarkan sayembara bahwa mereka siap memberikan hadiah USD 2 juta bagi siapa pun yang bisa menangkap Khun Sa. Jumlah yang sangat besar pada zamannya. Sehingga kemudian memancing banyak orang untuk menginginkannya.

 Khawatir akan keselamatannya, Khun Sa pun lebih memilih menyerahkan diri ke pemerintah Myanmar daripada AS. Tujuh tahun setelah ditetapkan sebagai buruan pemerintah AS, Khun Sa pun menyerahkan diri ke pemerintah Myanmar. Namun, setelah itu pemerintah Myanmar tidak pernah menyerahkan Khun Sa kepada AS.

 Khun Sa pun tetap berada di Yangon hingga akhir hayatnya dengan menikmati investasi yang besar-besaran di Yangon, Mandalay, atau Taunggyi. Satu dasawarsa setelah itu, tepatnya pada 26 Oktober 2007, pria yang juga dikenal sebagai Chang Chi-fu itu meninggal dunia pada usia 73 tahun.

 Tidak ada yang mengetahui secara pasti apa penyebab kematiannya. Namun, sebelum hari wafatnya, sang raja opium sempat mengidap penyakit komplikasi diabetes, kelumpuhan parsial, dan tekanan darah tinggi. Hingga kini, enam tahun setelah kematiannya, sisa-sisa kekuasaannya masih bisa dilihat.

 Itulah yang dirasakan sendiri oleh tim\"Jawa Pos ketika mengunjungi perabuannya di Yayway Cemetery, South Okkalapa, Yangon. Kesan misterius dan serba tertutup langsung terasa begitu memasuki kompleks pemakaman Tiongkok yang berada di dekat highway antara Yangon dan Mandalay tersebut.

 Tidak ada satu pun papan petunjuk menuju ke tempat itu, kecuali harus bertanya ke setiap penduduk di sekitar lokasi kompleks pemakaman. Pun demikian halnya begitu tiba di tempat yang dimaksud. Padahal, makamnya termasuk yang paling besar di antara semua makam di kompleks tersebut.

 Setiba koran ini di lokasi, ternyata makam itu sedang diperbaiki. Jadi, banyak orang di tempat tersebut. Sorot mata tajam pun langsung menyambut kehadiran Jawa Pos. Salah seorang yang dianggap paling bertanggung jawab atas pemeliharaan pemakaman tersebut adalah U Myint Maung.

 Laki-laki yang hanya bisa sedikit bahasa Inggris itu terlihat kurang suka dengan kedatangan Jawa Pos ke lokasi tersebut. \"Anda dari Indonesia\" Untuk apa Anda ke sini\" Maaf, kami di sini hanya ditugasi untuk memperbaiki makam ini. Kalau Anda mau menanyakan yang lain, maaf kami tidak bisa menjawabnya,\" cetus laki-laki yang usianya sekitar 35 tahunan itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: