Digerogoti Penyakit, Orang Tua Tak Punya Biaya Berobat

Digerogoti Penyakit,  Orang Tua Tak Punya Biaya Berobat

Obit Kurnia, Nopriadi dan Siti Mariam, Tiga Anak Malang  yang Terenggut Masa Kecilnya

TIGA anak malang ini sepertinya harus merelakan masa kecilnya terenggut. Mereka adalah Obit Kurnia, Nopriadi dan Siti Mariam. Penyakit yang mereka derita, membuat mereka harus menghabiskan banyak waktu di rumah.

OBIT Kurnia (11),  putra pasangan Mastaher dan Nurhayati,  warga RT 5 Pakuan Baru, Jambi Selatan tidak seberuntung bocah-bocah seumuran mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain.

Obit sepanjang hari hanya menghabiskan waktu di tempat tidur. Dia mengalami lumpuh sejak kecil. Mastaher yang sehari-hari berkerja sebagai penjahit permak pakaian ini mengatakan putranya ini tulang punggungnya lemah, jangankan untuk berdiri, menopang tubuhnya pun Obit mesti harus dibantu.

‘‘Dulu waktu lahir anak saya ini berat badannya hanya 1 kg, sudah kami bawa ke Puskesmas dan dirawat juga di rumah sakit tetapi sampai sekarang belum bisa sembuh,’‘ ungkap Mastaher.

Untuk pengobatan,  Mastaher mengatakan, kalau selama ini dirinya beserta istri sudah bolak – balik ke rumah sakit , biasanya dirinya membawa ke rumah sakit Raden Mattaher. Saat ini dia tidak mampu lagi membayar biaya pengobatan, dan hanya mengharapkan bantuan para saudara, dan jaminan kesehatan masyarakat miskin yang dimilikinya.

‘‘ Sudah sering kami membawa Obit ke Raden Mataher, dokter sekarang hanya menganjurkan Obit untuk check-up saja, biayanya banyak dibantu saudara, dan juga Jamkesmas,’‘ terang Mastaher.

Lain pula dengan Nopriadi warga RT 4 Pakuan Baru, Jambi Selatan. Sejak lahir, Nopriadi hanya bisa terlentang di dalam rumahnya yang berada di lorong sempit RT 4 Pakuan Baru. Sang Ibu Mulyati yang sehari-hari menjaga dan merawat Nopriadi, ditinggalkan suaminya sejak 17 tahun lalu.

 Mulyati yang hanya bekerja sebagai buruh cuci dan masak ini mesti banting tulang bekerja untuk bisa membeli obat-obatan bagi putranya ini.

‘‘Kalau telat minum obat anak saya ini bisa kejang-kejang seperti epilepsi,’‘ ujar  Mulyati.

Meski dianjurkan oleh dokter untuk memberikan obat kepada anaknya paling tidak dua botol dalam satu bulan, namun karena ketidakmampuan Dia hanya bisa membelikan satu botol obat yang diperuntukkan untuk satu bulan bagi Nopriadi.

‘‘Dokter menyarankan harusnya sebulan dua botol, sebotol harganya Rp 180 ribu, karena harganya mahal saya hanya sanggup beli sebotol,’‘ katanya seraya meneteskan air mata. 

Harga obat pun seperti tidak berpihak kepada orang kecil seperti dirinya, kenaikan harga membuatnya seringkali kebingungan untuk bisa menebus obat untuk anaknya itu. Mulyati mengaku merasa terbantu dengan adanya bantuan obat dari pemerintah, namun bantuan tersebut kini tidak seperti dulu lagi.

‘‘Sekarang harus nunggu 4 bulan dulu, kalau bisa kenapa tidak tiap bulan,’‘ katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: