>

Usung Makanan dan Pegawai Langsung dari Korea

  Usung Makanan dan Pegawai Langsung dari Korea

Merasakan Sensasi Kuliner Korea Utara (Korut) di Restoran Pyongyang

 Penasaran dengan cita rasa makanan Korut\" Tidak perlu jauh-jauh terbang ke negeri tersebut. Restoran Pyongyang di kawasan Gandaria, Jakarta, menyajikan makanan khas Korut lengkap dengan atmosfer negara komunis tersebut.

SAMBIL membungkukkan badan, seorang pramusaji perempuan menyambut kedatangan Jawa Pos di Restoran Pyongyang Sabtu malam lalu (17/5). \"Eoseo oseyo, selamat datang. Berapa orang?\" tanya dia. Dari name tag yang terpasang, pramusaji itu bernama Kim Hye-gyong.

 Restoran tersebut berada tidak jauh dari perempatan lampu merah Jalan Gandaria, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bangunan dua lantai bernomor 58 itu berdiri sejak 2008. Lantai 1 digunakan sebagai ruang makan, sedangkan lantai 2 untuk tempat karaoke.

 Menu yang disajikan beragam dengan harga yang variatif. Ada sashimi ikan asin yang dibanderol Rp 650 ribu per porsi, sandfish (Rp 200 ribu), daging sapi dan iga sapi bakar (Rp 150 ribu per porsi), bebek dan belut yang dijual mulai Rp 130 ribu per porsi, serta makanan lain seperti jamur dan sup taoco yang harganya Rp 120 ribu.

 Menurut Kim, hampir semua bahan makanan yang tersaji di restoran tersebut didatangkan langsung dari Korut. \"Ikannya langsung dari Korea,\" terang perempuan ayu itu dengan bahasa Indonesia terbata-bata.

 Kim merupakan salah seorang di antara empat pramusaji di restoran tersebut. Semuanya perempuan. Mereka mahasiswi dari Universitas Nongop Daehak Pyongyang yang diterbangkan langsung dari Korut untuk bekerja magang selama tiga tahun. Setelah itu mereka harus kembali ke negaranya. Tugas mereka digantikan orang lain.

Selain memiliki empat pramusaji, restoran tersebut mempekerjakan seorang juru masak dan manajer. Keduanya juga berasal dari Korut. Selain tak lancar berbahasa Indonesia, Kim dan teman-temannya tidak menguasai bahasa Inggris. Gadis 24 tahun itu mengaku sudah dua tahun bekerja di Jakarta. Dia belajar bahasa Indonesia secara otodidak dengan membaca buku-buku berbahasa Indonesia. \"Tinggal satu tahun lagi saya kembali ke Korut,\" ujarnya.

 Yang menarik, restoran tersebut juga mengusung nuansa komunis. Hal itu terlihat dari dominasi warna merah di berbagai ornamen gedung. Dua layar televisi hanya menayangkan gambar pemandangan dan lirik lagu dengan tulisan huruf hangeul sepanjang waktu. Tidak ada program televisi lainnya yang ditayangkan. Bisa jadi hal itu dimaksudkan untuk menangkal masuknya ideologi Barat.

 Restoran Pyongyang kebanyakan berada di Tiongkok. Pada era 2.000-an restoran tersebut melakukan ekspansi ke kota-kota di Asia Tenggara seperti Bangkok, Jakarta, Pattaya, Phnom Penh, dan Vientiane. Restoran itu awalnya melayani pebisnis Korea Selatan (Korsel) di Asia Tenggara. Belakangan restoran tersebut semakin populer dan mendapat tempat di kalangan wisatawan asing non-Korea.

 Meski demikian, keberadaan restoran itu tak luput dari rumor tidak sedap. Banyak cerita negatif seputar restoran tersebut. Di antaranya, restoran itu adalah bagian dari propaganda Korut untuk menyebarluaskan paham komunis. Selain itu, bisnis kuliner yang dijalankan restoran tersebut diduga bagian dari tindakan pencucian uang. Entahlah.

 Yang pasti, restoran itu tetap eksis sampai sekarang. Mayoritas pengunjung adalah ekspatriat Korea, baik Korsel maupun Korut. Selain makanannya yang benar-benar asli dari Korea dan dimasak langsung koki dari negeri tersebut, restoran itu menyajikan \"menu\" tambahan: live music.

 Bukan sembarang band yang bisa tampil di panggung tersebut. Sebab, penyanyinya adalah empat pramusaji restoran sendiri. Acara itu dilangsungkan pukul 19.00 sampai 21.00 setiap hari. Mereka melantunkan lagu-lagu Korut. Malam itu, misalnya, dua orang pramusaji naik ke panggung dan mendendangkan lagu berjudul Annyeong Dashi Mannayo yang artinya Sampai Jumpa Lagi.

(*/c9/ca)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: