>

Tarif Mahal, Pelayanan Belum Tentu Maksimal

Tarif Mahal, Pelayanan Belum Tentu Maksimal

JAKARTA - Setelah ramai-ramai urusan ujian nasional (unas), sebagian siswa lulusan SMA sederajat kini mulai konsentrasi melanjutkan ke pendidikan tinggi. Hati-hati saat memilih tempat kuliah. Status kampus negeri dengan biaya tinggi, belum jaminan memberikan kualitas pembelajaran jempolan.

 Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud Djoko Santoso menuturkan, kampus negeri maupun swasta saat ini terbagi menjadi dua jenis. \"Yakni kampus sehat atau tidak sehat,\" katanya mantan rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

 Djoko menuturkan calon mahasiswa harus selektif dalam memilih kampus. Dianjurkan untuk memilih kampus dengan kriteria sehat. Dia mengatakan masyarakat luas bisa mengamati sendiri kampus yang sehat atau tidak, dari informasi yang dibeber Ditjen Dikti Kemendikbud melalui website forlap.dikti.go.id.

 \"Kriteria kampus ehat atau tidak sehat itu banyak,\" ucap Djoko. Mulai dari status legalitas kelembagaan, akreditasi, hingga kualitas pembelajaran dengan indikator rasio jumlah dosen dengan mahasiswa. Di dala website Ditjen Dikti Kemendikbud itu, dibeber seluruh kriteria itu. \"Silahkan masyarakat menyimpulkan sendiri. Kampus yang dipilih sehat atau tidak,\" kata dia.

 Khusus untuk standar pembelajaran, Djoko mengatakan rasio ideal dosen dengan mahasiswa adalah 1 : 20 untuk program IPA dan 1 : 30 untuk program IPS. Setelah mengecek sebagian kampus, ternyata ada PTN ternama yang masuk kategori tidak sehat.

 Contohnya adalah program studi (prodi) Hubungan Internasional (HI) di Universitas Diponegoro (Undip) memiliki rasio dosen dengan mahasiswa 1 : 83. Kondisi di prodi HI Undip tentu sangat timpang jika dibandingkan dengan rasio ideal yakni 1 : 30. Sedangkan SPP yang ditarik untuk mahasiswa prodi HI di Undip mencapai Rp 6,25 juta/semester. (selengkapnya lihat grafis)

 \"Silahkan disimpulkan sendiri, kampus dengan rasio dosen yang begitu timpang itu sehat atau tidak,\" tandasnya.

 Menurut Djoko rasio dosen dengan mahasiswa yang tidak sebanding, berdampak pada kualitas pembelajaran. Prodi yang memiliki dosen sedikit dengan jumlah mahasiswa yang banyak, biasanya memiliki dua alternatif.

 Pertama adalah, jumlah mahasiswa di setiap rombongan belajar sangat banyak. Bisa mencapai 50 mahasiswa lebih di setiap rombongan belajar. Padatnya mahasiswa di dalam satu rombongan belajar, tentu bisa berdampak perkuliahan yang tidak efektif.

 Alternatif kedua adalah pihak kampus memilih memperbanyak rombongan belajar. Alternatif ini dipakai karena kampus ingin mempertahankan jumlah ideal mahasiswa dalam satu rombongan, yakni sekitar 20 - 30 mahasiswa saja. Resiko penerapan banyak rombongan belajar ini, dosen tentu akan kerepotan mengatur jam mengajarnya.

 Rasio dosen dan mahasiswa yang tidak sebanding, juga banyak terjadi di kampus-kampus swasta berbandrol mahal. Contohnya rasio dosen dengan mahasiswa di prodi Teknik Industri Universitas Presiden mencapai 1 : 74,9. Artinya seorang dosen mengajar hampir 75 mahasiswa. Kasus lainnya ada di prodi Manajemen Universitas Ciputra Surabaya yakni 1 : 50,8.

 Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid mengatakan, dosen adalah elemen terpenting dalam proses pembelajaran. Dia menuturkan rasio dosen dengan mahasiswa yang tidak sebanding, juga banyak muncul di kampus negeri. \"Tugas pemerintah untuk membina PTS supaya memiliki rasio dosen yang ideal. Jangan asal dibantai,\" katanya.

 Edy menuturkan PTS maupun PTN memiliki misi untuk mencerdaskan bangsa. Dia sepakat bahwa kampus harus memperhatikan jumlah dan kualitas dosennya. \"Rasio dosen harus memadai. Tidak boleh terlalu jomplang dengan jumlah mahasiswanya,\" ujarnya.

 Dia mengatakan membentuk rasio dosen dengan mahasiswa yang ideal di PTS tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Edy berharap Kemendikbud tidak memberlakukan rasio ideal dosen dan mahasiswa itu secara menyeluruh untuk semua wilayah Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: