Berjalan 15 KM Sehari, Demi Mengajar Anak-anak Rimba
Mengenal Theo Eldhora Fernando Lubis, Fasilitator Pendidikan SAD
Theo Eldhora Fernando Lubis merupakan fasilitator Suku Anak Dalam (SAD) lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNJA Bidang Studi Bahasa Inggris. Kini, dirinya mengajar anak Rimba di kelompok Terap Kabupaten Sarolangun
DONI SAPUTRA
MEMILIH menjadi seorang pendidik bagi anak Rimba dengan sarana yang terbatas dan minim, bukanlah perkara mudah bagi semua orang. Apalagi harus menyesuaikan diri terhadap kebiasan yang berbanding terbalik dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, hal itu tidak berlaku pada pria lulusan Bidang Studi Bahasa Inggiris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi (UNJA) ini. Theo Aldhora Fernando Lubis (28) menagajar anak Rimba sudah berlangsung selama satu tahun, dirinya mengajarkan anak-anak Rimba di kelompok Terap, Suku Anak Dalam (SAD) Bukit 12 di Kabupaten Sarolangun. Anak-anak Rimba yang diajarkan ada yang sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung.
Kepada harian ini beberapa waktu lalu, lulusan Unja 2012 ini mengatakan, berbagi ilmu dan mengajar di daerah perbatasan terluar dan terisolir adalah cita-citanya sejak mengenyam studi di bangku kuliah.
“Jadi mimpi saya pengen membuat sekolah sendiri bagi anak-anak yang memang membutuhkan. Inilah proses saya untuk sampai kesana,” ujar Theo, kepada Jambi Ekpres, saat diwawancarai di lokasi mengajarnya yang terletak di Bukit 12, belum lama ini.
Tidak hanya itu, dirinya juga mengungkapkan, semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. “Paling tidak, memberikan pelajaran kepada mereka adalah menjadi tanggungjawab saya sebagai lulusan Jurusan Keguruan,” ungkapnya.
Akan tetapi, usaha yang dilakoninya itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ditemani dengan suara kumbang dan burung, di pondok belajar tersebut ia menceritakan demi mengajarkan anak-anak Rimba, dirinya rela berjalan di dalam hutan hingga 15 KM yang ditempuh selama 4 hingga 5 jam satu hari.
“Kita harus mengikuti mereka yang memang hidupnya selalu berpindah-pindah. Kita belajar tidak semata-mata dilakukan di pondok belajar ini. Anak-anak ini juga mengikuti orang tuanya yang berpindah,” kata pria yang baru menikah 10 Oktober 2014 ini.
Tidak hanya itu, usaha dan niat mulianya itu juga pernah bertolak belakang dengan keinginan keluarga. Saat mengunci niatnya sebagai fasilitator pendidikan anak-anak Rimba. Dia mendapat penolakan dari keluarga serta kerabatnya.
“Alasannya karena masih banyak pekerjaan lain. Dengan itu saya membuktikan dan mematahkan bahwa mengajar bisa apa saja yang penting memiliki keinginan yang kuat.” Katanya.
Ternyata, anggapan orang luar terhadap mereka yang jorok dan penuh dengan magic semua salah. Bahkan, sangat berbanding terbalik. “Rasa peduli mereka dengan kita sangat tinggi, dan sangat perhatian terhadap kesehatan kita. Mereka ramah, dan baik,” terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: