Hampir Punah, Miskin, dan Terpinggirkan dari Pergaulan
Mengunjungi Kampung Orang-Orang Pigmi Rampasasa, Kabupaten Manggarai, NTT (1)
Keberadaan masyarakat pigmi di Dusun Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih menyimpan misteri. Konon, postur tubuh mereka yang pendek mewarisi gen manusia purba homo Floresiensis yang fosilnya ditemukan di Gua Ling Bua, tak jauh dari Rampasasa.
M. HILMI SETIAWAN, Manggarai
MISTERI orang pigmi Rampasasa itu menarik perhatian dr Aman Bhakti Pulungan. Aman menganggap keberadaan mereka terlihat \"ganjil\" dibanding orang modern pada umumnya. Postur orang pigmi paling tinggi hanya 150 cm, namun dengan organ tubuh yang tumbuh \"normal\". Karena itulah, Aman lalu menjadikan orang-orang pigmi sebagai objek penelitian disertasinya untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 13 Januari lalu (Jawa Pos, 15 Januari 2015).
Berdasar penelitian Aman, postur pendek orang pigmi tidak disebabkan kekurangan gizi atau zat kalsium. Bahkan, kata dosen FKUI tersebut, asupan gizi orang-orang pigmi lebih dari cukup. Malah, yang ekstrem, lebih baik dibanding gizi orang Jakarta.
Aman menyimpulkan bahwa postur pendek orang-orang pigmi ternyata merupakan faktor genetis alias keturunan. Mereka diindikasi masih keturunan manusia purba masyarakat Flores (homo Floresiensis) yang hidup ratusan tahun silam di Flores.
Atas dasar hasil penelitian Aman itu, Jawa Pos (Induk Jambi Ekspres, red) menemui langsung orang-orang pigmi di Rampasasa 16 Januari lalu. Hingga saat ini orang pigmi di Rampasasa masih tersisa sekitar 200 jiwa.
Begitu sampai di dusun yang terletak di lereng bukit itu, saya langsung berkunjung ke salah satu rumah warga pigmi. Memang, setiap tamu yang datang ke kampung kate Rampasasa akan diajak masuk ke rumah gendang, rumah adat mereka. Dinamai rumah gendang karena di tiang penyangga rumah bagian tengah digantung beberapa buah gendang. Juga ada perisai dan cambuk. Ketiganya dipakai saat ada perhelatan tarian adat caci setiap selesai musim panen, sekitar Agustus.
Saat masuk rumah kecil itu, saya seperti raksasa yang sedang masuk rumah liliput. Tinggi tubuh saya yang sekitar 170 cm nyaris menyundul kayu penyangga atap yang terbuat dari seng. Bahkan, ketika melalui pintu, saya harus merunduk agar tidak terbentur gawangnya yang hanya setinggi 1,7 meter.
Rumah gendang tersebut mempunyai lima ruangan. Empat ruangan untuk kamar tidur penghuni yang masing-masing berukuran 4 x 3 meter. Letaknya di empat sudut rumah gendang. Sedangkan satu ruangan lainnya merupakan ruang serbaguna yang berada persis di tengah-tengah rumah. Ruang serbaguna itu dipakai untuk upacara adat menyambut tamu atau upacara-upacara keluarga lainnya, seperti pernikahan, kelahiran, atau kematian.
Setiap tamu asing yang masuk rumah gendang akan disambut upacara kapu oleh seluruh warga pigmi Rampasasa. Siang itu upacara dipimpin Darius Sekak, 65, yang merupakan ketua rumah gendang. Pria bertinggi 140,9 cm tersebut tinggal bersama istrinya, Regina Idas (140,8 cm).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: