Hampir Punah, Miskin, dan Terpinggirkan dari Pergaulan
Penghuni rumah gendang terdiri atas pasangan dari suku-suku yang berbeda. Mereka tinggal di empat kamar yang tersedia. Dua kamar untuk perwakilan suku Ntala, sedangkan dua kamar lainnya untuk suku Tuke\"i dan suku Lao. Suku Ntala mendapat dua kamar karena jumlah dan pengaruhnya lebih dominan daripada suku lainnya.
Suku Ntala diwakili Darius dan istrinya serta pasangan Victor Jerubu (146,5 cm) dan Yuliana Mia (140). Suku Tuke\"i mendelegasikan pasangan Petrus Antas (145,5) dan Martha Dahung (136,5). Sementara itu, perwakilan suku Lao di rumah itu adalah Rofinus Dangkut (157,9) beserta istrinya, Yuiana Nut (140,6). \"Rumah adat ini harus diisi perwakilan dari suku-suku yang ada. Tidak boleh hanya dihuni satu suku saja,\" jelas Darius.
Kondisi bilik-bilik kamar di rumah gendang itu sangat sederhana dan jauh dari standar kesehatan rumah pada umumnya. Setiap kamar masih disekat lagi menjadi dua ruangan. Satu ruangan difungsikan sebagai ruang keluarga, ruangan yang lain untuk tempat tidur.
Kondisi tempat tidurnya juga sangat sederhana, hanya berupa dipan kayu yang di atasnya diberi kasur tipis yang sudah kumal. Tak ada pencahayaan, apalagi listrik. Cahaya hanya bergantung kepada sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dinding kayu.
Darius menceritakan, di rumah gendang berlaku aturan pewarisan bilik kamar. Biasanya orang tua akan menyerahkan bilik kamar itu kepada anaknya yang belum bisa membangun rumah sendiri. Tetapi, ketika anak-anaknya sudah bisa membangun rumah sendiri di luar rumah gendang, kamar tersebut akan dihuni orang tuanya sampai meninggal.
Dan, ketika orang tua yang menghuni rumah gendang itu meninggal, harus ada salah satu di antara anak-anaknya yang bersedia menghuni bilik kamar di rumah gendang. \"Anak-anak tidak boleh menolak. Karena itu amanat dari orang tua sebelum meninggal,\" jelas Darius.
Dengan cara seperti itu, keempat bilik kamar di rumah gendang tidak pernah kosong. Aturan adat tersebut mereka jalankan secara turun-temurun sejak dulu.
Terkait dengan postur tubuh mereka yang pendek, Darius mengakui bahwa itu merupakan warisan dari nenak moyang mereka yang secara ilmiah dikenal dengan nama homo Floresiensis. Manusia purba itu dulu banyak hidup di gua-gua, salah satunya di Gua Liang Bua yang terletak sekitar 2 km dari Dusun Rampasasa.
\"Nenek moyang kami itu pindah ke Rampasasa setelah di sekitar Gua Liang Bua terjadi wabah penyakit misterius. Banyak yang kemudian mati di dalam gua,\" jelas Darius.
Meskipun secara fisik lebih pendek dibanding warga pada umumnya, orang-orang pigmi Rampasasa tidak pernah berkecil hati. Pemuda-pemuda pigmi juga aktif ikut kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. \"Kami kan juga warga seperti yang lain. Jadi ya wajar kalau kami ikut kegiatan seperti yang lain,\" tutur pria yang dituakan di suku Ntala itu.
Dari sisi sosial ekonomi, masyarakat pigmi Rampasasa masuk kategori prasejahtera alias miskin. Penghasilan mereka sebagai buruh tani cengkih dan kemiri tidak seberapa. Paling banter mereka hanya mendapatkan beberapa kg beras sebagai ongkos kuli berkebun.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup lainnya, masyarakat pigmi menarik ongkos kepada setiap wisatawan yang datang ke kampung mereka. Misalnya, ketika wisatawan ingin masuk rumah gendang, warga akan menarik tarif Rp 100 ribu per orang.
Kemudian, untuk foto bersama orang-orang kate itu, wisatawan juga harus mengeluarkan duit antara Rp 50 ribu-Rp 100 ribu. Lalu, untuk jasa pemandu masuk ke kampung pigmi Rampasasa, tarifnya Rp 50 ribu. \"Orang pigmi Rampasasa menganggap setiap tamu yang datang itu membawa berkah bagi mereka,\" kata Kornelis, penjaga situs Gua Liang Bua.
(*/c9/ari/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: