>

Pemkab Rugi Rp 44, 7 T

Pemkab Rugi Rp 44, 7 T

Dalam tataran implementasinya di tingkat makro CSA mengedepankan arahan penggunaan lahan (land use) berdasarkan kondisi ekologis. Sedangkan pada tingkat mikro, praktek CSA mengedepankan prinsip-prinsipnya adalah ketepatan dalam pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan/diusahakan berdasarkan ekosistem, budaya, dan pasar, mempertimbangkan aspek aspek yang dapat mengurangi pelepasan zat karbon di lahan gambut. Sebaliknya bahkan meningkatkan penangkapan karbon, memperhatikan pengelolaan ramah lingkungan sehingga mempertahankan keanekaragaman hayati (tindakan organik), dan  melakukan penyesuaian jenis tanaman yang mampu meningkatkan produktivitas lahan sehingga berdampak baik pada ketahanan pangan dan pendapatan keluarga.

Jambi merupakan salah satu provinsi yang memiliki lahan gambut dengan luasan besar. Berdasarkan data Kementrian Kehutanan tahun 2011, Provinsi Jambi memiliki lahan gambut seluas 676.341 Ha. Adapun sebaran kedalaman gambut di Provinsi Jambi terbagi kedalaman 50 – 100 cm seluas 91.816 Ha (14,78 persen), 100 – 200 cm seluas 142.716 Ha (22,98 persen), 200 – 400 cm seluas 345.811 Ha (55,68 persen), dan kedalaman > 400 cm seluas 40.746 Ha (6,56 persen).

Dengan kenyataan ini menempatkan Provinsi Jambi sebagai provinsi di urutan ketujuh memiliki lahan gambut terluas di Indonesia. Luasan ini ± 10 persen dari total luas lahan gambut nasional. Dengan data luasan lahan gambut ini, dapat diestimasi besarnya potensi karbon gambut sekaligus potensi kerugian yang besar apabila lahan ini tidak dikelola dengan baik.Sebaran lahan gambut terbesar di Provinsi Jambi berada pada wilayah hilir. Sebagian besar merupakan bagian dari gugusan pantai timur Sumatera.

Secara berurutan penyebaran terbesar di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (46 persen), Kabupaten Muaro Jambi (30  persen), dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (20 persen). Menurut data dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2010, Provinsi Jambi berkontribusi sebesar 3 (tiga) persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2005. Adapun emisi bersih GRK Jambi pada tahun tersebut sebesar 57 Juta Ton CO2.

Berdasarkan data DNPI ini, 85 persen sumber emisi Jambi berasal dari sektor gambut dan penggunaan lahan.Jambi memiliki potensi besar dari sektor gambut untuk menurunkan emisi tahunannya. Masih mengutip dari data DNPI, Jambi dapat menurunkan emisi GRK hingga 55 Juta Ton CO2 hingga tahun 2030. Potensi ini didapatkan sebanyak 48 persen dari upaya konservasi lahan gambut.

Berdasarkan gambaran dari data-data itu, kondisi ini menunjukkan pentingnya posisi Provinsi Jambi dalam upaya pengurangan emisi nasional. Peran penting dan strategisnya Jambi tidak terlepas dari potensi lahan gambut yang dimiliki.Ke depan, arah pembangunan dan pengembangan lahan gambut yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta (perusahaan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan), dan masyarakat harus memperhatikan fungsi gambut sebagai penyimpan karbon. 

Jangan sampai peran penting dan strategis lahan gambut Jambi sebagai stabilisasi iklim dalam bentuk deposit dan penyerapan karbon berubah menjadi kontributor pelepasan emisi karbon.

Rudi Syaf, Direktur Eksekutif KKI Warsi Jambi, Jambi memiliki 3 kabupaten berlahan gambut. Diantaranya tanjab barat timur dan ma jambi. Kebakaran lahan dan hutan selalu terjadi tiap tahun. \"Banyak dampak yang terjadi, seperti gangguan penerbangan, kesehatan, negara tetangga komplain,\" ujarnya.

Wasis menambahkan, nilai ekonomi dampak kebakaran lahan gambut terbesar ketiga kabupaten adalah kerugian ekonomi yakni sebesar 41, 564 (4,860 t) di tanjab barat. Lalu 6495 T (42, 389 persen) di muaro jambi dan rp 7, 708 T (43; 565 persen) tanjab timur kerugian negara.

\"Perbedaan angka tergantung dengan kedalaman lahan gambut yang ada. Kerugian negara terbesar diakibatkan tanjab tinur karena gambut disana terbilang dalam-dalam,\" ujarnya.

Nilai ekonomi dampak kebakaran per hektar Rp 81, 645 juta per hektar. Di Tanjab Timur memang paling tinggi, karena gambut di tanjab timur lebih dalam. Disampaikannya, Muaro jambi luas potensi yang terbakar 207, 977 ribu hektar dengan kerugian 15, 326 T. \"Per hektar Rp 73, 691 juta gambutnya dangkal,\" ujarnya.

Lalu, Tanjab barat luas potensi terbakar 206, 305 hektar dengan kerugian Rp 11, 694 T dan kerugian per hektar 56, 683 dampak kerugian ekonomi. Dia menyebutkan, dalam pebelitian ini, metode yang dipakai adalah Purposiv sampling cara pengambilan sampel.

\"Karena kita tak mungkin mengambil dampel di semua lahan karena kendala di lapangan kalau kita datangi tentu akan ada keberatan. Makanya diambil sampel yang mewakili 3 kabupaten itu. Kenapa tanjab timur yang besar karena kita melihat ke dalamannya. Ada 3 indikator ekonomi yang dipakai untuk menghitung itu. Kebakaran itu prinsipya aset Sumber Daya Alam yang dihitung,\" katanya.

\"Misalnya fungsi simpan daya air, lalu misalnya pengendali erosi dan penyimpanan daya air. Kalau terbakar kan dia hilang itu yang harus diganti. Gambut itu kan terbentuknya sejak 4. 000 sampai 6. 000 tahun lalu. Kalau dibuat lahan pertanian kan dijadikan kehilangannya kemampuan menyimpan karbon, pembentukan tanah, fungsi menyimpan nutrisi dan keragaman semuanya itu dihitung sekua akibatnya,\" ungkapnya.

Alat ukur dalam penelitian itu sehingga timbul angka triliunan itu ada beberapa cara, diantaranya, kedalaman gambut, kandungan karbon, kemampuan menyimpan air, pengaturan tata air, pembentukan tanah, ke aneka ragaman hayati, sumber daya genetik, pengendalian erosi, penguraian limbah, apa yang ada di atas tanah, misalnya sawit, atau hutan,\" sebutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: