OPINI: Ibu, Kid Zaman Now, dan Karakter Bangsa
Dahulu anak-anak mempunyai keterikatan emosional dengan masjid, musala, TPQ, organisasi kepemudaan, dan kelompok belajar di masyarakat. Namun, saat ini sepulang dari sekolah mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain PS, gadget, dan game-game online.
Pertanyaannya, bagaimana dengan ibu-ibu saat ini, apa peran mereka dalam menyiapkan generasi muda Indonesia? Di saat bangsa Indonesia menghadapi tantangan global yang semakin berat, mestinya kesiapan dan kesigapan kaum ibu saat ini justru semakin besar.
Apalagi pemerintah mencanangkan tahun 2045 sebagai tahun emas, artinya bagi mereka yang saat ini berusia sekitar 10 tahun seharusnya tanggung jawab dan panggilan jiwa untuk mendidik mereka semakin besar dari kaum ibu.
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 7 tentang hak dan kewajiban orang tua tentang pendidikan anak, dan pasal 13 tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sudah mengamanatkan bahwa tanggung jawab pendidikan berada pada tiga pihak (Tri Pusat Pendidikan), yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Slogan dan seruan pemerintah, bahkan para juru penerang masyarakat dan para dai dalam banyak kasus, hanya sebatas lipstik dan sebagai rutinitas yang tidak berbekas.
Kalau pendidikan formal sudah sering dinilai hanya mampu mengembangkan intelektualitas dan nalar siswa, pendidikan nonformal juga sudah tidak berdaya karena tidak seimbangnya antara tuntunan dan tontonan, maka sebenarnya pembangunan karakter bangsa tinggal berharap kepada pendidikan informal (keluarga).
Teori pendidikan karakter knowing the good, doing the good, feeling the good, dan behaving the good dalam praktiknya akan banyak dimainkan oleh keluarga, terutama perilaku ibu dan ayah.
Nah, siapa yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan keberhasilan pendidikan keluarga ini? Jawabannya kembali pada ibu. Para ibu harus mampu memerankan diri seperti peran ibu jari yang bisa menguasai dan mengendalikan semua jari tangan kita, dan ibu jarilah yang bisa ikut membersihkan kotoran yang ada pada kuku jari-jari kita.
Para ibu juga harus mampu memerankan diri sebagai ibu kota yang menjadi rujukan kota-kota di bawahnya. Ibu kotalah yang menginspirasi kemajuan pembangunan dan peradaban kota-kota lainnya. Para ibu juga harus memerankan sebagai surganya keluarga dan seluruh isi keluarga, menjaga kehangatan dan kebahagiaan keluarga, sebagai yang digambarkan agama keluarga sakinah (tenang, damai), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang).
Namun, hanya ibu sendirian tentu tidak fair, karena kesadaran dan kehebatan ibu juga bergantung pada sang suami (ayah) dalam keluarga. Maka, sinergi dan saling menyadari tanggung jawab pendidikan informal antara ibu dan ayah (istri dan suami) menjadi keniscayaan.
(*) Guru besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: