OPINI: Ibu, Kid Zaman Now, dan Karakter Bangsa
Oleh: Ali Mudlofir*
ARI Ibu di Indonesia diperingati setiap 22 Desember sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa dan peran kaum ibu dalam mengantarkan para putra-putrinya mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Demikian juga halnya keberhasilan para suami dalam melaksanakan tugas dan karirnya. Sehingga ada adagium: ’’Dalam keberhasilan seorang suami, pasti ada ibu yang sukses mendampinginya’’.
Sejarah Hari Ibu ini bisa dikembalikan kepada kesadaran kaum ibu dalam pembangunan generasi penerus dan partisipasi mereka dalam pembangunan nasional, maka mereka mengadakan Kongres Istri Indonesia I pada 1928 sampai akhirnya pemerintah menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu pada 1958.
Kata ’’ibu’’ selalu diidentikkan dengan kemuliaan, keagungan, sumber kekuatan, dan pusat peradaban dari sebuah komunitas. Dari pemaknaan seperti ini muncullah istilah ibu jari, ibu kota, ibu pertiwi, di mana semua istilah itu menggambarkan makna kebesaran, keluhuran, sentra peradaban, dan sebagai asal usul sebuah bangsa.
Sastrawan Mesir abad ke-19 Ahmad Syauqi menggambarkan: ’’Ibu merupakan sekolah, jika engkau mempersiapkan dia dengan baik, maka engkau telah mempersiapkan generasi yang berperangai baik’’. Dalam pandangan agama-agama, kaum ibu juga menempati tempat yang mulia dan terhormat.
Islam, misalnya, memandang bahwa surga sebagai simbol kebahagiaan berada di bawah telapak kaki ibu. Islam juga memandang bahwa perempuan (kaum ibu) merupakan tiang negara. Jika mereka baik, akan baiklah negara, namun pula sebaliknya.
Harus kita sadari bahwa tantangan dalam pendidikan informal (keluarga) yang banyak diperankan orang tua, terutama kaum ibu, saat ini semakin besar seiring dengan perkembangan zaman. Hal-hal berikut bisa dianggap sebagai penjelas.
Pertama, arah dan kebijakan kurikulum sekolah formal saat ini cenderung pada student centre curriculum dengan pola active learning, contextual learning, dan sejenisnya di mana kemandirian dan kreativitas siswa menjadi tujuan utama.
Kondisi ini menuntut peran orang tua, khususnya para ibu, untuk mengimbanginya dengan memberikan pendampingan dan bimbingan belajar putra-putrinya secara intensif.
Kedua, semakin banyak ibu yang menjadi perempuan karir membawa konsekuensi berkurangnya waktu untuk berkomunikasi dan internalisasi nilai pada anak-anak mereka. Untuk mengatasi problem ini, ada sementara keluarga yang memilih memasukkan putra-putrinya pada boarding school dan pesantren.
Ada pula yang memilih membuat homeschooling dan parenting dalam menyinergikan semua potensi anak, baik intelektualitas (head), moralitas (heart), maupun keterampilan/skills (hand). Dalam keluargalah semua potensi itu bisa dibina, dikembangkan, dan dikontrol oleh ibu.
Ketiga, semakin meluasnya penggunaan alat-alat ICT di kalangan anak-anak. Era ICT atau era digital pada satu sisi berjasa besar dengan kemudahan dan fleksibilitas dalam mengakses informasi. Namun, kecanggihan era ini juga membonceng sisi negatif, khususnya bagi anak-anak dan para remaja.
Pada usia pembentukan ini mereka belajar dari apa yang dilihat dan didengar sehingga semua tontonan bisa menjadi guru dan tuntunan bagi anak-anak jika tidak mendapat dampingan dan bimbingan yang cukup dari kaum ibu dan orang dewasa.
Keempat, semakin merenggangnya ikatan sosial dan emosional pada lembaga pendidikan nonformal seperti persatuan pemuda, karang taruna, remaja masjid, organisasi sosial keagamaan, kelompok bermain, dan teman sebaya. Ini semua telah menjadi tantangan bagi para ibu dalam memantau anak-anak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: