>

Ketum PGRI: Jangan Diskriminatif terhadap Guru Honorer

Ketum PGRI: Jangan Diskriminatif terhadap Guru Honorer

JAKARTA-Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Prof Unifah Rosyidi meminta agar pemerintah tidak diskriminatif terhadap guru honorer. Meski statusnya bukan PNS, guru honorer harus tetap diberikan kesempatan ikut pelatihan untuk meningkatkan kualitas serta kompetensinya.

\"Saat ini ada dua persoalan yang berbeda, yaitu masalah kekurangan guru dan kualitas guru. Kekurangan guru itu harus diselesaikan. Meskipun dibilang tenaga pendidik melimpah tetapi faktanya banyak daerah kekurangan guru. Nah, bagaimana menyelesaikannya?,\" kata Unifah di sela-sela diskusi terbatas ahli PB PGRI di Gedung Guru, Senin (18/11).

Di satu sisi, lanjutnya, bagaimana menghormati guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun. Apakah ada yang memenuhi persyaratan dijadikan guru tetap. Kalau tidak memenuhi, apakah mereka tetap dipekerjakan di sekolah masing-masing tetapi penghasilannya dinaikkan sehingga memenuhi standar kelayakan hidup.

Hanya, menurut Unifah, penanganan guru honorer tidak sampai di situ. Mereka harus ditingkatkan pelatihannya secara terus menerus.

\"Tidak boleh diskriminatif terhadap guru honorer. Mereka harus ditingkatkan pelatihannya, sehingga tidak tertinggal jauh kualitasnya. Jangan sampai ada guru honorer yang kualitasnya sangat tinggi dan ada yang rendah sekali,\" terangnya.

Untuk mengatasi masalah ini, lanjut Unifah bukan hanya tugas pemerintah pusat. Pemda sebagai pemberi kerja harus ikut bertanggung jawab meningkatkan kualitas guru honorer. Mengingat, guru honorer paling banyak di daerah.

\"Pemda harus ikut membantu menyelesaikan masalah guru honorer. Kalau mau bahas mutu, harusnya masalah kesejahteraan sudah selesai dibahas,\" ucapnya.

Terkait mutu, Unifah mengatakan, setiap guru harus mengubah mindset dimulai dari literasi dasar. Misalnya, kita menamakannya calismakturtung. Itu literasi dasar untuk melompat kepada critical thinking, cooperative, collaborative, creative, communicatif.

Guru harus membiasakan muridnya membaca. Bukan guru bahasa Indonesia saja. Dari membaca itu, menuliskan kembali apa yang dibaca. Di sini proses membaca pemahaman siswa terbentuk. Siswa tidak sekadar baca dan menghafal tetapi dipahami, kemudian dituliskan kembali sesuai pemahamannya.

\"Menuliskan yang penting atau yang dibaca harus lewat menyimak. Simak itu analisis. Itu kan sederhana tetapi efeknya besar. Kemudian literasi menghitung. Bukan cuma matematika, tapi literasi data.
Kalau ini tidak menjadi satu kebijakan bagi pemerintah, dan konsisten dilaksanakan, susah memenuhi target peningkatan mutu. Jadi intinya harus perkuat membaca, menulis, menyimak, menutur, dan menghitung (calismakturtung),\" tandasnya. (esy/jpnn)

Sumber: www.jpnn.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: