Oknum Polisi Mabuk Tewaskan Tiga Orang, Pakar Psikologi Forensik Sampaikan Ini
JAKARTA — Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menyoroti beberapa hal penting dalam kasus oknum polisi mabuk, Bripka CS, yang menembak empat orang di Kafe RM, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (25/2) dini hari.
Tiga di antara korban penembakan meninggal dunia. Salah satunya adalah anggota TNI AD. Hal pertama yang menjadi perhatian Reza adalah hukuman bagi pelaku penyalahgunaan senjata api atau senpi. Apalagi pelakunya oknum aparat.
“Penyalahgunaan senpi, apalagi oleh aparat penegak hukum, apalagi sampai menewaskan masyarakat sipil, jelas patut dipandang sebagai kejahatan serius. Pelaku patut dihukum berat,” ucap Reza kepada JPNN.com, Kamis (25/2/2021).
Namun, kata pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM ini, konstruksi hukum kasusnya harus kuat. “Untuk merealisasikannya, konstruksi hukumnya harus solid. Puzzle-nya harus terakit rapi,” ucap Reza.
Dia lantas menyinggung pasal yang disangkakan terhadap Bripka CS, yakni Pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
“Kabarnya, polisi pakai pasal 338 KUHP. Sebutlah, ini pembunuhan murni, memang ada niatan untuk menghabisi para korban. Pertanyaannya, dari ketiga korban, apakah pelaku memang membunuh ketiganya?” kata Reza.
Peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne ini kemudian menyampaikan analisis mengenai kejadian tersebut.
“Adakah korban yang sesungguhnya sebatas akan dianiaya namun penganiayaan itu mengakibatkan korban meninggal dunia? Jika bisa disisir seperti itu, pasalnya akan berbeda. Bukan 338,” sambung Reza. Namun, dia mengaku belum mengetahui persis bagaimana peristiwa itu terjadi. Terutama tentang deskripsi tempat kejadian di perkara atau TKP. termasuk interaksi korban dan pelaku.
“Saya sendiri belum tahu bagaimana deskripsi situasi di TKP, kondisi pelaku, dan interaksinya dengan para korban. Kalau pelaku mabuk, bagaimana niatan untuk membunuh korban bisa dijelaskan,” jelas pakar asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau ini.
Reza juga mencoba menganalisis penjelasan polisi bahwa kejadian penembakan oleh Bripka CS diwarnai dengan cekcok mulut.
“Kalau benar ada cekcok mulut, cekcoknya seperti apa. Cekcok yang memantik heat of passion, lalu terjadi penembakan, belum tentu bisa disebut sebagai pembunuhan (murder). Bahkan betapa pun korban tewas,” tutur Bang Reza.
Karena itu, kata dia, menjadi penting untuk mengetahui gambaran situasinya ketika penembakan itu terjadi. Terutama soal interaksi korban dengan pelaku oknum polisi mabuk tersebut.
“Itu sebabnya interaksi antara korban dan pelaku perlu dideskripsikan, bukan hanya disimpulkan ‘terjadi cekcok’. Dengan demikian, bagaimana tindak-tanduk para korban juga bisa dinilai seberapa jauh ‘kontribusi’ mereka bagi terjadinya peristiwa tersebut,” jelas Reza.
Terakhir, dia berharap penyidik kepolisian bisa mengungkap kasus ini secara mendalam, dan menjerat pelakunya dengan hukuman maksimal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: